Hati-hati Menggantungkan Cita-Cita ke Langit


Rasanya, buat saya, terlalu klise kalimat gantungkanlah Cita-citamu setinggi langit. Tetapi, lama kelamaan, saya dibuat menganga oleh cita-cita secara sadar dan tak sadar yang saya buat untuk diri saya sendiri.

Begini, dulu saya ingiiiiin sekali melihat tanah kebebasan, land of freedom, Amerika. Pasalnya, memori tentang ayah saya yang dulu sempat ditugaskan di sana tampak tersimpan dengan baik. Saat ada waktu dan rizki, ibu saya beserta tiga buntutnya, saya dan adik-adik menyusul ke sana dalam sebuah agenda libur. Masih segar dalam ingat saya, di tempat ayah tinggal sementara itu, saya sampai bermimpi dikejar-kejar guru sekolah dasar yang mempertanyakan ke mana saya pergi bolos sekolah. Demikianlah ibu saya mengatur jadwal yang agak mepet masuk sekolah di caturwulan yang baru. Di sana, saya ingat, kami sekeluarga berbagi peran dalam mengurus rumah. Ada yang belanja, mencuci, buang sampah dan lain sebagainya. Berbeda dengan kondisi kami di tanah air yang punya ART sebagai bagian dari kehidupan. Dalam memori saya, kehidupan singkat menjadi keluarga yang mandiri itu indah sekali. Jadilah saya menyelipkannya di dalam benak bahwa suatu hari saya akan kembali. Sampai saya lupa pernah pernah memendam keinginan itu.

Hingga suatu ketika saya tersadar berada dalam ruangan sedang melakukan wawancara dengan para senior yang menanyakan alasan saya hendak pergi ke negeri Paman Sam. Saya menjelaskan panjang lebar tentang hal-hal yang saya cari di sana. Setahun berlalu, sebuah pesawat membawa saya menuju negara impian itu.

Saya ingat pernah berdebat panjang dengan orangtua tentang keinginan yang saya luncurkan begitu saja kepada mereka. Saya mau jadi pujangga! Namun, sedikit demi sedikit saya harus menguras mimpi ini dari benak saya karena menyebabkan perseteruan, meskipun tidak hebat. Saya menyembunyikan rapi keinginan saya untuk menjadi penyair seperti pujaan, WS Rendra.

Di suatu siang menunggu kelulusan kuliah, setelah mengenyam ilmu Teknik, adik saya melancarkan celetukan, โ€œKayaknya, Kakak harus menulis buku!โ€ Saya hanya mesem-mesem saat itu. Tanpa pernah terbayang buku macam apa yang akan saya tulis. Membiarkan mimpi menjadi penulis datang dan pergi begitu saja dalam hidup.

Episode lain dalam cerita hidup membawa saya ke sebuah kantor di mana saya yang gagal psikotes untuk pengajuan karyawan permanen mendapat bimbingan dari senior, โ€œBegini harusnya kalau kamu gambar manusia, harusnya kelihatan tangan dan kakinya, memang kamu gambar apa sih kemarin?โ€ Maksudnya baik untuk evaluasi objek yang saya gambar. Waktu itu beliau mencontohkan untuk menggambar petani dengan cangkul dan suasana bekerja di sawah. Sementara yang saya gambar adalah seorang ibu yang tengah mengantar anaknya di hari pertama sekolah, keduanya bersepatu dan dalam posisi bergandengan tangan. Entah apa yang ada dalam benak saya saat itu, menikah saja belum, boro-boro memikirkan pendidikan anak. Mungkin itu juga cara saya mencatat cita-cita dalam kalbu.

Dalam kebosanan dunia kerja, saya berpikir mencari peluang untuk melanjutkan studi. Namun, dilemanya bukan hanya terletak pada urusan dari mana kemampuan finansial demi peruntukkan itu, tetapi juga pada banyaknya aksi mager yang sumbernya dari diri sendiri. Sampai suatu ketika Yang Kuasa berkata lain; saya harus berangkat saat itu juga. Tanpa ba-bi-bu! Karena adik tengah saya membutuhkan dukungan moral di tengah tekanan yang dialaminya saat masa studi. Lagi-lagi, saya melihat Tangan Yang Paling Berkuasa atas nama kehendak.

Dalam masa yang lain, saya pernah menuliskan dalam secarik dokumen tentang pilihan profesi. Buat saya yang tidak pernah menganggap diri saya menganggur saat tidak berafiliasi pada lembaga atau instansi apa pun, cukup logis untuk saya muat frase peneliti independen di kolom pekerjaan. Karena saya merasakan diri bisa tetap penuh kesibukan walau tanpa organisasi terstruktur yang membuat kewajiban tertentu.

Pernah juga saya bermimpi menyusuri jalan panjang negeri ini. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, saya menyiapkan ransel besar tanpa pernah tahu kapan saya akan menggunakannya. Dilalah, pekerjaan kajian dan penelitian datang bertubi-tubi tanpa bisa saya hentikan arusnya. Kadang saya sampai terlalu lelah untuk merawat batin karena terlalu sering berkunjung dari satu bandara ke bandara lainnya. Kadang, dalam seminggu, kaki saya bisa menapaki negeri Indonesia raya bahkan sampai ke tempat yang belum dikenali oleh sinyal seluler.

Pada kisaran masa yang rasanya panjang, saat menyusui newborn, saya secara sadar memilih berada penuh di rumah dan meminta berhenti dari lembaga yang menjadi naungan saya selama beberapa tahun terakhir. Berdatanganlah reaksi dari yang mendukung sampai yang menyayangkan keputusan saya terkait jenjang karir dan hal lain yang mengikutinya. Sebagai hasil, upaya menyusui yang kami sepakati bersama berakhir saat putri saya berusia 4 tahun 3 bulan. Saya percaya ini adalah salah satu bisikan batin saat menggantungkan cita-cita ke langit.

Mapping Sederhana Awal Kebun Keluarga

Waktu-waktu awal menyusui, saya sering menghabiskan waktu dengan percobaan menanam. Rasanya, saya kemudian jadi kami, bersama suami dan anak, pernah bercita-cita menanam di kebun sendiri. Didukung dengan hobi baru suami yang sering mengoleksi biji-bijian sisa buah yang dikonsumsi saat anak kami mulai MPASi. Hasrat terpendam ini mulai bisa disalurkan saat boyongan pindah ke rumah sendiri. Ada lahan kecil di depan teras, ditambah area komunal di samping rumah yang menurut kesepakatan bersama komplek bisa digarap oleh rumah terdekat. Jadilah kami punya tambahan tempat eksplorasi. Sayangnya, kami adalah manusia yang punya banyak eksposur pekotaan. Sehingga kami pikir biji-bijian hanya tinggal ditancapkan saja ke dalam tanah, lalu mereka akan tumbuh dengan sendirinya. Lalu pandemi datang menghantarkan kami pada buku, guru, kelas menanam yang membentang luas demi menunjukkan bahwa usaha kami memungkinkan untuk dilakukan. Hanya saja perlu banyak usaha dan kesabaran.

Panen Jahe
Ginger Warrior

Saat saya hampir lupa dengan mimpi-mimpi yang sudah saya pernah sebutkan, doakan, bisikkan, tuliskan baik secara sengaja maupun tidak, ia hadir! Begitu saja. Dalam bentuk yang tidak pernah saya duga. Tahun-tahun produktif menulis datang, buku pertama merupakan buku refleksi keluarga yang kami susun bersama. Lalu buku kedua, buku puisi tentang perjalanan berkebun keluarga.

Cover Buku Dari Kebun Komorebi

Layaknya kehidupan yang bergulir naik turun, Kalau ditanya yang masih ingin dicapai, tentu ada. Saat momen idul adha kemarin datang, kami merencanakan sebuah riset keluarga tentang hal-hal yang menjadi pertanyaan kami terkait kurban. Tentu saja rasa ingin tahu kami menuntun untuk menginginkan hal lain, seperti memperjalankan diri dalam kisah Nabi Ibrahim dan keluarga. Saya tahu, saya perlu hati-hati dalam bermimpi. Menuliskannya saja deg-degan. Bismillahirrahmanirrahim.

Putri kami bersama Tata, domba yang telah menjadi sahabatnya selama menunggu detik-detik kurban

Tulisan ini dibuat dalam rangka meramaikan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan Agustus.https://mamahgajahngeblog.com/tantangan-blogging-mgn-agustus-2023-keinginan-yang-masih-ingin-dicapai-mamah/


15 responses to “Hati-hati Menggantungkan Cita-Cita ke Langit”

  1. Aamiin untuk keinginan di poin akhir, semoga bisa segera ke tanah suci menjalankan ibadah di sana.
    Salam kenal untuk Tata dari Teteh ya … Itu samaan banget deh, setiap jelang qurban anakku juga senang main bersama dombanya.

    Like

    • Amiiin ya Rabbal’alamin. Doa yang sama baiknya juga untuk Teh Dewi dan keluarga. Toss Teh Dewi, iyaa, A suka banget memang dengan segala jenis hewan pemakan rumput ini. Salam kenal juga dari A untuk anaknya Teh Dewi.

      Like

  2. Teh Jade, masya Allah, saya terhanyut membaca tulisan Teteh. Indah sekali, Teh…
    Alhamdulillah banyak keinginan Teteh yang tercapai ya Teh, cita-citanya dikabulkan olehNya. Alhamdulillah.

    Kalimat yang ini, “Saya tahu, saya perlu hati-hati dalam bermimpi. Menuliskannya saja deg-degan.” terekam dalam otak saya dan sangat mengena. ๐Ÿ™‚

    Like

    • Masya Allah. Nuhun pisan, Teh. Masih belajar ini bareng Teteh-teteh semua di MGN. Amiin yra. Doa dan kebaikan yang sama tercurah untuk cit-cita Teh Srinurillaf dan keluarga ya.

      Like

  3. Emang betul, rasanya sering ya doa terkabul, apalagi setelah jadi ibu.hehehe

    Keren teteeeh, bikin buku dari kegiatan bareng keluarga, sangat menginspirasi.

    Like

  4. Saya tuh selalu kagum sama orang-orang yang pinter berpuisi. Bagiku itu sulit banget…kok bisaaa memilih kosa kata dan menyusunnya dalam bentuk rima…
    Trus…aku juga kagum sama orang yg pandai berkebun…
    Semoga cita-cita yg belum ke sampaian segera terwujud yah…
    (Hani)

    Like

  5. Bener banget nih, hati-hati menggantungkan cita-cita, karena cita-cita itu sudah jadi doa dan jangan kaget ketika dikabulkan oleh-Nya. Semoga semua keinginan dan cita-cita sudah diproses dengan matang sebelum digantungkan ya teh eh maksudnya dipanjatkan, dan semoga saja selalu mendapatkan jalan mewujudkan cita-citanya.

    Like

  6. Senang sekali membaca keinginan masa lalu yang akhirnya tercapai dengan cara yang tak terduga. Jadi bikin penasaran kan, kejutan apa lagi yang menunggu di masa depan? ๐Ÿ˜€

    Semoga keinginan mewujudkan kebun impiannya segera terwujud. Sejuk banget kalau di rumah ada pemandangan kebun beranekaragam tanaman. Apalagi hasilnya bisa dimakan ๐Ÿ˜

    Like

Leave a comment