Konektivitas Jaringan Hidup


Dua tahun yang lalu, takdir menyampaikan saya pada buku Kiss the Ground yang dituliskan oleh Josh Tickell. Sesaat setelah itu, saya jadi sadar dengan keberadaan sebuah makhluk superkecil yang namanya Mycorrhizal Fungi. Mereka adalah jaringan hidup di dalam tanah. Untuk gambarannya sih, para ahli sering menyebutnya sebagai internet di dalam tanah. Mereka yang melakukan tugas penting, menghubungkan akar dengan keberadaan nutrisi, juga informasi lain yang dibutuhkan makhluk-makhluk yang bertempat tinggal di dalam sana dari mulai cacing tanah, semut sampai mereka yang tak terlihat dengan mata telanjang.

Salah satu dosen semasa kuliah dulu pernah berpesan sebelum kami lulus, “Jangan jadi beban ya kalau kalian nanti sudah lulus. Jadilah struktur, karena sudah terlalu banyak beban yang ada di masyarakat sana!” Saya pikir semua orang bisa paham arti kata-kata beliau. Nyatanya, waktu saya cerita ke teman-teman yang kebetulan bukan anak teknik, agak bengonglah mereka. Maksudnya apa sih? Humm begini, struktur yang dimaksud si Bapak dosen saya dulu itu maksudnya bisa jadi sebuah benda atau bangunan yang fungsinya sebagai penanggung beban. Misalnya pada bendungan, strukturnya adalah bangunan bendungan, bebannya adalah air yang ditampung, angin, juga gempa. Kalau pada sebuah ruas jalan atau jembatan strukturnya adalah jalan atau jembatan, bebannya adalah kendaraan yang lewat, beban angin, beban gempa dan lain sebagainya. Keribetan? Contoh lebih gampil dalam aktivitas membawa belanjaan sayur, strukturnya adalah si Tas Belanja, bebannya ya sayur-mayur yang dibawanya.

Masih dari bangku kuliah, saya sekelebat ingat dengan yang disebut dengan beban ultimit. Artinya, beban paling masif yang pernah dialami suatu benda. Kalau misalnya si Kantong belanja tadi sudah pernah membawa satu buah semangka bulat, maka sayuran seperti bayam merah seikat, bayam hijau seikat, daun poh-pohan dua ikat, kentang sebiji dan wortel sebiji, jadi gak ngaruh. Si Kantong belanja kalau bisa ngomong bakalan dengan pongah bilang, “Pih! Aku pernah ngangkat lebih berat dari ini, jadi kalau sayuran secimit gini, gak ngaruh!” Mungkin juga ia akan mengupayakan kibas poni dengan kesongongan pernah mengangkat beban yang lebih berat, yang untuknya jadi beban ultimit.

Waktu diminta mengingat-ingat beban—tantangan maksudnya—yang terbesar dalam hidup, saya musti menimbang-nimbang. Kadang kadar kesulitan itu, oh sungguh, subjektif. Tergantung pribadi beserta latar belakang yang menempanya, bisa juga berlandaskan waktu. Buat saya, cukup menantang memilih antara jendela waktu pacaran backstreet, yang sekarang kalau dikenang, dihh cemen banget! Atau pengalaman ditinggal menikah, diputuskan sepihak lewat surat ke rumah Pak Lurah, menyamakan derap langkah dengan orang yang punya kecenderungan bipolar dan schizophrenia, kehamilan usia rentan dengan pembengkakan di dekat jalan lahir saat trimester ke-3, perjuangan meng-ASI-hi anak yang penuh perjuangan, sampai ke perbedaan pandangan dengan para tetua untuk hal-hal mendasar, mendapat telepon di tengah malam tentang rumah keluarga yang diamuk masa, jibaku pasangan muda yang sudah tidak muda lagi dengan perjuangan finansial, pilihan rumit saat harus menebang dua pohon besar yang kami tanam di dekat dinding luar rumah karena disinyalir akarnya telah masuk ke dalam sloof bangunan dengan indikasi dinding rumah yang retak semakin parah, dan macam-macam lagi bumbu yang dibawa kehidupan. Waktu kesemuanya terjadi, rasanya saya ingin menunjukkan jari saya pada satu tantangan tadi, iya itu persis! Itulah saat tantangan terberat dalam hidup saya. Beban ultimit milik saya.

Namun lucunya, manusia telah dikaruniakan Penciptanya salah satu sifat yang menguntungkan: lupa. Dengan lupa, saya jadi tidak ingat persis rasanya saat dulu marah, sedih, kecewa, deg-degan, bingung dan segala bentuk emosi lain yang berkelindan. Saya hanya ingat pengalaman-pengalaman sebelumnya yang telah membentuk saya di hari ini. Persis si Mycorrhizal Fungi—internet bawah tanah—demikian juga halnya dengan beban yang pernah hadir, mereka telah menjalankan fungsi konektivitas jaringan hidup di dalam diri saya. Mereka telah dengan gagahnya menjalin pertemanan dengan sel-sel lain di dalam diri saya. Sebagai mekanisme bertahan.

Setelah perenungan panjang, hal yang kini saya gadang-gadang sebagai beban terberat dalam hidup saya adalah kejadian yang secara waktu paling dekat dengan titik hidup saat ini. Ehem, agak malu ceritanya, tetapi ingin saya bagikan karena dibelakangnya ada kisah pencapaian yang saya banggakan.

Semenjak bulan Maret, saya mengikuti sebuah program berdurasi pendek yang disebut Habit Formation. Program ini didominasi dengan kegiatan berupa aksi langsung berupa kebiasaan baik baru yang hendak dibangun, dilatih bersama teman-teman dalam program ini selama 2 minggu penuh. Setiap hari, kami dikirimkan pesan pengingat, penguat untuk kebiasaan baik yang hendak dibangun. Salah satu yang ingin saya upayakan adalah bergerak. Karena saya merasa badan saya membutuhkan kegiatan yang bisa disetarakan dengan olahraga, stretching atau sekedar bergerak. Pada kenyataannya, kondisi ini buat saya menantang. Satu di antaranya, saya bukan penggemar berat olahraga tertentu seperti pasangan yang memang hobi main bola dan sudah terbiasa joging. Saya hanya seorang medioker. Bisa dan ada sepeda menang hadiah undian di kantor lama, tetapi juga tidak gemar bersepeda, akibatnya lebih banyak karat yang ada dibandingkan jumlah kilometer di sepeda saya. Dulu suka ikut race atau lomba lucu-lucu fun run, sekarang rasanya tidak selucu dulu saat starter pack lari kok ya segitunya. Pernah juga jadi inisiator futsal ibu-ibu di kantor lama, tetapi setelah resign, krik-krik-krik, belum ada ajakan main bola yang akhirnya bisa saya datangi, meskipun undangan sudah ada.

Daripada mengharapkan yang tak pasti, saya menempel kebiasaan baru yang ingin saya bangun itu pada aktivitas. Strecthing bisa sambil main sama anak balita dengan membuat permainan imajinatif seperti senam hewan hutan, senam muka, senam sop, dan senam gado-gado. Di sini rasanya, keinginan untuk saya punya pementasan teater sendiri diberi jalan! Saat belanja, bisa disulap menjadi wahana jalan kaki lain dengan memisahkan waktu untuk beli singkong, buah, sayur, ayam dan tahu di hari yang lain. Pas mati gaya, tercetuslah ide untuk nature walk sama bocil untuk jalan kaki terus berhenti menggambar di bawah pohon rindang. Intinya, mengupayakan untuk bergerak tanpa berlindung di balik alasan hujan, panas, dan lain-lain.

Satu Ember Buah

Minggu pagi, kami jalan santai dengan niat mencari buah-buahan juga tukang tapai. Biasanya suka gampang tergoda pada macam-macam. Itu tantangan terbesar saya di sana, jasmani dan rohani. Dari mulai jajan pasar, nasi kuning, mi ayam, sampai gorengan! Tetapi hari itu saya bangga bisa dadah-dadah sama beberapa penjual nasi kuning, pelapak jajan pasar juga abang gorengan. Hip hip huray!!!

Satu Wadah Tapai

Kami bertiga pulang membawa tropi kemenangan, satu wadah tapai, dua kilo singkong mentah, dan satu ember buah-buahan lokal.  Pagi itu, saya menyesap kecapi, buah yang baru pertama kali saya coba. Tantangan saya cemen bener? Ahahah, maap-maap nih, buat saya berat! Pagi dan sarapan kebaikan dari buah seperti yang idealnya dilakukan, membuat saya lebih terhubung dengan seluruh jaringan hidup di dalam badan saya yang kemudian mengirim kode sinyal kenyang ke otak saya. Begitu ternyata, masalah, beban, tantangan dalam bentuk kecil dan besar silih berganti datang. Membuat hidup lebih hidup. Seperti juga jamur yang superkecil itu.

Artikel ini, seperti biasa, dibuat untuk semakin konsisten menulis, ya setidaknya dalam event ini: Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog 2023 https://mamahgajahngeblog.com/tantangan-blogging-mgn-september-2023-pengalaman-menghadapi-tantangan-terbesar-dalam-hidup-jasmani-dan-atau-rohani/


14 responses to “Konektivitas Jaringan Hidup”

    • Teh Dewi, nuhun sudah mampir. Iyaa bener, Masya Allah ya, Teh ke-elastisan dan ke-plastisan yang dikasih ke manusia ciptaan Allah ini.

      Like

    • Ahhh keren konsistensinya, Teh. Motivasinya yang spesifik musti ketemu dulu ya, biar makin dapet strong why-nya. Di kami sih karena berasa sudah jompo karena menikah di usia senja namun anak masih balita. Kalau nggak keep up, bisa-bisa kelewatan letihnya, hehe. Biar bisa sehat terus sampai nanti-nanti bersama titipanNya. Semangat sehat terus buat kita semua.

      Like

    • Ahahah Teh Shanty. Iya si Tape memang segitu nagih buat dicemilnya kalau di rumah. Iya, kapan nanti kucobain tulis ya, ini masih lumayan effort buat membiasakan nulis lagi di blog berkat MGN juga, hihi.

      Like

  1. Oh ya Allah. Teh Jade, terima kasih banget ya. Ini kenapa aku serasa mbaca “Chicken Soup for the Soul”.

    Dan “Jangan jadi beban, …. jadilah struktur..” mulai detik ini, menjadi salah satu best piece of advice I’ve ever received. Nuhun Teh Jade. 🤗

    Liked by 1 person

Leave a comment