Pembicaraan Imajinatif dengan Si Paling Beda


Kita semua tidak pernah terlahir sama dalam hal selera, pemikiran dan banyak hal lain. Bagian dari keseruannya. Menjadi negasi atau komplementer. Seperti juga hubungan pelik antara saya dan Adik Bungsu. Saat yang satu keluar sanguinmelankolis-nya yang lain akan melengkapi menjadi koleris plegmatis. Begitu juga untuk ketertarikan, kami akan menempati area yang berbeda dalam pilihan musik, film, buku dan banyak hal lain. Bukan untuk saling mencela, tetapi untuk punya referensi lain dari hal yang kami pilih untuk nikmati. Setidaknya, kami akan punya tempat bertanya berbagai bidang yang lain dari mulai sastra, teknologi, olahraga dan entah apa lagi. Ehem, buat saya sih, doi tempat menye-menye tentang kegaptekan teknologi.

Geret ke sana kemari

Si Adek memang sudah memperlihatkan minat dan bakat pada teknologi semenjak di bangku SD. Gak heran, untuk urusan teknologi, dia jadi tempat diskusi mama dan papa. Mulai dari perangkat lunak sampai perangkat keras yang bermasalah di rumah, bahkan kadang urusan kantor yang gak resolved, mereka tanya ke si Adek. Hobinya memang bongkar-bongkar. Meskipun kadang ya terima bongkar tetapi tidak terima pasang. Ahahaha! Bagian dari harga yang harus dibayar mama papa saya karena punya anak yang hobi eksperimen urusan teknologi, spesifiknya komputer.

Pernah semasa kuliah, si Adek ikut lomba bikin robot bersama teman dari kampus lain. Dalam bayangan saya, robot ya secanggih mainan gitu, tetapi yang saya lihat cuma sebuah benda yang jalan di jalan yang mereka tandain pakai selotip warna hitam. Padahal untuk membuat sebuah benda jadi punya “otak” begitu ya, bukan hanya “cuma”. Selftoyor. Saya yang waktu itu sudah punya penghasilan dari magang di laboratorium, diminta si Adek untuk bantuin jadi salah satu penyandang dana. Lah! Buntutnya gak enak. Seru sih melihat perkembangan robot mereka sampai akhirnya meskipun gak dapat juara satu, tetap banyak yang bisa dilihat keasikannya.

Setelah urusan lomba robot selesai, si Adek ngide buat kunci selot yang bisa ada dimasukkan nomor kode rahasianya. Mirip cara kerja brankas atau pintu hotel atau gedung kantor. Versi sederhananya ya, style anak kuliah. Jadilah saya digeret ikut ke Pasar Kosambi untuk belanja peralatan elektronik di sebuah toko kecil. Di sana, saya kesenengan lihat lihat benda-benda super mungil yang namanya cuma selintas saya ingat: capacitor, transistor, diode, anode, resistor, integrated circuit dan teman-teman mereka lainnya. Waktu itu sih, rasanya saya nanya, dijelaskan dan cuma ho-oh ho-oh saja. Habis itu proyek selesai, dipasang di kamarnya dengan bahagia dan bangga.

Sebelum dan sesudah episode bikin-bikin si Adek, dari mulai urusan beli dan servis alat elektronik sampai pengadaan set desktop yang saya beli pakai kocek sendiri, si Adek selalu saya geret. Harapan bangsa. Dia seperti konsultan IT yang saya gratis. Yaa kadang-kadang diupah jajan di jalan pulang atau modal beliin buku atau majalah Chip yang jadi makanannya kala itu.

Lain Dulu, Lain Sekarang

Kita semua punya musim kehidupan. Ada saat lapang, ada saat sempit. Ada saat bersama, ngumpul dan berantem; ada juga saat kruntelan, kolaborasi dan saling mendukung, ditambah sedikit eh banyak celaan. Namanya juga kehidupan bersodara. Biar seru dikit, jadi harus ada yang bergantian jadi reseh! Ada saat melajang, ada juga saat kami menikah dan berpencar. Si Adek memutuskan kerja di kejauhan berpindah dari darat ke lautan, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Sekarang ia jauh dari pandangan mata. Dengan teknologi, segala jarak terbentang memang hanya sejauh jempol menekan tombol WhatsApps. Tetapi ya, beda aja.

Dulu, saya pernah punya keinginan menulis. Belum tahu bentuk yang paling cocok, entah puisi, cerpen, novel,nonfiksi atau apa. Pada suatu titik saya merasa, memulai adalah hal yang perlu dilakukan. Maka, saya mulai membuat blog gado-gado yang isinya macem-macem hal yang beterbangan di kepala. Kemudian yang saya rasakan sulit adalah konsistensi. Untuk selalu menuangkan segala yang saya pikirkan dalam sebuah tulisan.

Lalu datanglah berbagai bentuk media sosial untuk menulis semua hal dalam godaan untuk ditampilkan lebih singkat dan padat. Sampai blog kehilangan konsitensinya lagi.

3, 2, 1, Mulai…

Saat menyiapkan draft blog, laptop lama saya mulai ngos-ngosan. Seperti pelari marathon yang jarang latihan dan terpaksa ikut ritme berlari saya yang baru.

Blep!

Suatu hari, si Mio, laptop lama saya bahkan menunjukkan tanda-tanda protes lebih keras. Di layarnya berpendar warna hijau, merah muda dan biru bergantian membuat deadline dan tampilan layar yang keduanya sama-sama membuat saya mual. Walhasil, si Mio harus bedrest selama beberapa waktu dalam keadaan mendatar dan full shut down untuk bisa digunakan lagi dengan durasi yang cukup pendek.

Napas pendek-pendek si Mio ini yang membuat saya mulai menyodorkan proposal kepada Pak Suami mengenai kebutuhan pengadaan laptop baru untuk meniupkan debu di blog yang telah lama saya tinggalkan selama masa hibernasi. Perkara serius berikutnya, saya dan Pak Suami hanya beda tipis dalam hal teknologi, 11-12 lah. Saya mengerti sedikit, Pak Suami mengerti sedikiiiit lebih banyak. Ahaha!

Opsi berdiskusi dengan si Adek tentu sudah menjadi perkara lebih lanjut yang saya pikirkan.

Tapi, Tapi, Tapi

Kondisinya sudah tidak sama. Si Adek di negeri gurun pasir sana dengan perbedaan waktu 4 jam lebih lambat dan porsi pekerjaannya yang memungkinkan berkeliling dari satu wilayah ke wilayah lain di dalam divisi di mana ia ditugaskan. Menambah beban menerima telepon untuk diskusi jarak jauh perkara pemilihan laptop rasanya bakalan menambah daftar becanda cela-celaan saya untuknya. Ahahaha!

Maka, saya putuskan metoda lain untuk memilih alat pendukung karya yang saya buat. Miriplah sama jaman dahulu loper koran punya sepeda yang bisa diandalkan untuk mengantar tumpukan koran dari satu rumah ke rumah lainnya. Iya, saya hidup di era koran yang masih diantar ke rumah-rumah, sampai kalau si Loper meleng, gak lihat pelanggan yang keluar rumah ngintip koran sudah datang atau belum, bisa-bisa jadi korban sasaran timpuk.

Saya mencoba mengingat-ingat apa yang si Adek selalu tanyakan sebelum saya memutuskan membeli desktop atau laptop dahulu kala.

Butuh Gak Butuh

Maka, saya memulai rangkaianpembicaraan imajinatif dengan si Paling Beda, setidaknya dalam hal selera dan niche dari saya. Mengulang lagi waktu-waktu senggang saat hari terasa panjang di masa kami lebih muda dulu.

Hal pertama yang saya ingat setiap kali si Adek saya geret waktu mau membeli perangkat keras,”Emang butuhnya apa, Kak?”

Saya akan diam lamaaa sekali, memutar otak untuk memikirkannya. Dari dulu hingga sekarang, spesifikasi saya memang tidak pernah terlalu high end, karena kebutuhan saya hanya untuk ketik-ketik.

Saya ingat pernah menanyakan, “Kenapa gak samain aja sih Dek sama spek komputer lo?” Terus saya kena ceramah panjang tentang bedanya kebutuhan penggunaan komputernya dan saya. Dia yang suka pakai buat main game, flight simulator, kebutuhan gambar desain dan segala software yang dibutuhkan dalam calculation dan desain di jurusan perkuliahnnya waktu itu. Jadi ya, beda!

Iya-iya, saya angguk-angguk sendiri dalam bikin profile diri saya sebagai pengguna. Harus sesuai kebutuhan, wong saat saya kuliah, magang, kerja, jadi intern, ngerjain proyek, volunteering, ngajar sampai akhirnya milih kerjaan ketak-ketik dan ngecap berbagi pengalaman di berbagai komunitas, kebutuhannya beda semua.

Saya nyengir waktu melihat sebuah meme dari seorang ilustrator yang menemani suaminya membeli raket tenis saat olahraga itu sedang hits. Sama kira-kira jawabannya dengan tone yang beda dari adik saya, saat si Penjual ditanya, “Mas, raket yang bagus yang mana?” Mengejutkan jawabannya ya, bukan yang mahal yang paling bagus. Tetapi yang paling cocok. Jadi logika yang termahal itu gak berlaku di mana pun.

Pemetaan kebutuhan adalah yang saya lakukan berikutnya. Pertanyaan si Adek dulu rasanya begini, “Sambil ngetik bakalan buka tab apa aja, Kak?”

Umhh membayangkan dan mengingat-ingat lagi sambil sibuk memikirkan naskah yang saya ketik dalam Microsoft Word saya biasanya melakukan multi-tasking dengan membuka: WhatsApps; mengecek KBBI; melakukan riset kecil sampai besar dengan mencari artikel, jurnal, dan buku; membuka aplikasi sitasi; memungkinkan juga sambil melakukan rapat virtual; membuat visual grafis; mengedit video, yang hampir dipastikan semuanya saya lakukan dengan mendengarkan musik untuk mengiringi pekerjaan saya. Oh, ada kalanya saya dicolak-colek anak kicik untuk numpang belajar dari aplikasi ataupun hal lain yang bisa kami temukan tutorialnya secara online dan kami praktikkan di rumah. Dengan demikian, saya yakin laptop untuk kebutuhan nge-blog ini harus powerful. Banyak kerja tambah dia nantinya sebagai pengganti si Mio. Waktu saya membaca spesifikasi ASUS Vivobook 14 yang mendukung power-nya tangan saya mulai keringat dingin dengan bagian otak mesin pendukung kerja saya nantinya: 11th gen Intel Core i7 processor, 8GB RAM, 512GB PCIE SSD, Dual-Storage (PCIe SSD + SATA HDD).

Kepala saya bisa membayangkan senyum iseng si Adek yang mengisyaratkan, “boleh juga lho, Kak!” Sambil males mengeluarkan kata-kata karena ogah muji. Ahahaha!

Benderang dan Temaram

Memilih kerja dari rumah artinya mengintegrasikan keseharian di rumah bersama anak dan pekerjaan. Mirip dengan tukang kayu yang punya workshop di rumah atau kebun yang perlu di rawat. Dari yang sudah-sudah laptop akan saya bawa ke mana-mana. Dari tempat yang terang benderang saat matahari lagi jentrong-jentrongnya di tengah kebun, sawah, pantai sampai saat temaram di dalam tenda sambil berkemah sama si Bocil atau sesederhana saat lampu sudah temaram menemaninya tidur tetapi deadline masih harus dikejar sambil membuat dokumentasi keseharian homeschooling, jurnal syukur dan ceklis untuk besok. Iya, saya ibu-ibu gak mau rugi.

Vivobook 14 ini mengerti kebutuhan saya untuk dengan fitur display 2 sisi Nano Edge. Habis mata seharian lelah membersamai bocah berkegiatan, saya perlu layar yang jernih dan tajam untuk memudahkan saya efektif saat berada di “jam kantor”.

Kantor saya memang bukan berbentuk fisik dengan blok jam kerja, tetapi product based. Saya gembira menjalaninya karena “kantor”hanya cukup saat saya membuka laptop, dari sudut yang bisa cukup luas area pandangnya 178°.

Ngantuk tentu adalah penyakit paling lazim menghinggapi ibu yang bekerja dari rumah setelah anak sibuk berkegiatan mandiri terlebih saat anak tidur. Bawaannya ya mau ikut tidur juga. Saya kebayang nyinyiran si Adek, “Makanyaaa, jangan kebanyakan ngambil kerjaan, ukur-ukur diri, sanggup gak?”

Di sisi ini saya mesem-mesem dengan pilihan saya yang rasanya menang banyak. Ada antiglare fitur keren yang bisa menyesuaikan paparan cahaya yang mengenai layar. Jadi waktu terlalu terang, mata saya gak sakit mengatur manual cahaya gelap di layar. Atau pun sebaliknya, saat cahaya temaram di kamar yang hanya menggunakan lampu tidur ketemua dengan cahaya berlebih di layar laptop waktu mengetik dilakukan sambil satu tangan ngelus-ngelus bocah nemenin sleep routine-nya membaca rangkaian doa mau tidur.

Mata saya di usia kepala empat sudah cukup campur aduk dengan modal minus dan plus di kaca mata yang tarik-tarikan. Dengan Full HD resolution mata saya, setidaknya saat bekerja, bisa menolak tua. Hihi poin penting!

Ka Mana Atuh Gaya?

Saya suka baju yang gak harus beli. Irit detected! Biasanya, saya akan dapat baju dari ibu saya atau sodara yang sudah gak menginginkan bajunya lagi. Itu juga masih pilah-pilih gaya yang terlalu ajaib, sudah cuma lewat depan mata sekilas saja untuk saya teruskan ke lemari yang lain di rumah teman atau kerabat.

Jadi warna-warna yang saya suka memang gak jauh-jauh dari hitam, putih, abu-abu, coklat dan biru. Pas banget pilihan warna Vivoo 14 dengan Indie black dan transparent silver untuk saya yang ogah gaya-gayaan dalam fashion juga benda-benda yang saya beli untuk kebutuhan saya. Uwu, rasanya semakin dekat dengan sepeda genjot khusus untuk saya. Yang pagi-pagi kena becandaan Pak Suami, “Ya kalau cuma ke warung beli sayur doang ngapain beli sepeda gunung atau sepeda lipet segala sih!” Tul juga, si Bapak.

Inget Umur

Sebagai Gen X dari kalangan professional, saya tahu dan ingat benar umur saya. Di usia ini, saya butuh barang, apalagi yang berhubungan dengan IT yang gak kacangan dalam hal ketahanan dan keandalannya. Kalau sedikit-sedikit rusak dan ngambeg, bisa-bisa saya hanya fokus pada rawat jalan dan rawat inapnya saja. Gawat!

Semenjak pandemi, saya dan keluarga belajar sedikit-sedikit hidup lebih sadar. Akan kebutuhan dan mengerti benda yang setelah kami pikir sekitar puluhan kali untuk diundang ke rumah.

Habis makan sehat, hidup sehat yang harus sehat juga adalah: kepala. Makanya, pos pengeluaran juga harus sehat.

Seimbang

“Budget lo berapa, Kak?” ini hampir selalu jadi pertanyaan penutup setelah semua kebutuhan spesifikasi kami runut panjang di depan forum diskusi kakak-adek dalam perjalanan ke pusat elektronik.

Dia butuh tahu saya mau ngeluarin berapa agar bisa jadi pengacara saya di depan lapak penjual. Aahaha! Karena si Adek tahu benar saya akan pilih gorengan daripada tempura, gado-gado daripada pizza, jadi dari spesifikasi yang saya ajukan tadi, harus ada titik setimbang antara: performance, appearance, dan budget. Saya bukan gak mau keluar mahal untuk kualitas, tetapi saya hanya mau mengeluarkan anggaran yang membuat saya bisa tetap bertahan besok-besoknya lagi. Gak habis buat sekali pembelian lalu nangis-nangis sampai musim gajian berikutnya. Tipikal orang yang males drama dan memilih kehidupan praktis juga rasional.

Dadah Lemot

Paling gemes kalau lagi on-fire ide berkibar-kibar tetapi saat membuka sebuah aplikasi atau harus menggunggah dan mengunduh sebuah file rasanya harus nunggu berabad-abad.

Karena waktu adalah hal terpenting dalam tumbuh kembang anak dan keluarga. Saya gak mungkin nongkrong depan laptop bekerja seharian. Karenanya, teknologi superfast data performance dan kapasitas lebih besar dengan desain dual storage ini yang membuat saya semakin kesemsem. Hasilnya respond an waktu loading lebih cepat untuk membuka dan memutar film, musik, library, dan album foto.

Efisiensi adalah kunci lewat 802.11ac Wi-Fi yang memungkinkan dalam satu kedipan semua urusan performa sudah selesai dengan super-fast web performance.

Saya sudah benar-benar siap dadah-dadah sama kelemotan si Mio dan pendahulunya karena kuncian sampai 512GB PCIE SSD +HDD yang memungkinkan untuk di-upgrade.

Geser-Geser

Benda-benda di rumah kami semuanya multipurpose, iya bekal dari salah satu kolega profesor yang mengajarkan value engineering. Ilmu itu baru ngelotok dari badan saat digunakan. Maka, kotak bekalnya saya buka dengan mengupayakan meja makan juga jadi meja kerja, meja membaca dan meja prakarya. Milik kami bertiga seisi rumah. Karenanya, barang yang mengisi meja harus benar-benar diatur seefisien mungkin. Ukuran jadi salah satu dari sekian hal yang diantara minor dan mayor.

ASUS Vivobook 14 sesuai dengan taglinenya Easy portability, Effortless productivity. Maka, dia sama sekali gak akan membuat meja serbaguna di rumah jadi sempit. Dengan panjang 325 mm, lebar 216 mm, dan ketebalan yang hanya 19,9 mm dan berat yang hanya 1.5 kg udah paling bener kalau harus “perkantoran” digeser-geser ke sana kemari termasuk dibawa jalan.

Me-time, Recharge Energy

Seperti hukum kekekalan energi, bahwa energi tidak pernah hilang, hanya berubah bentuk. Maka, setiap dari kita, ini karena yang ngomong ibu-ibu jadi konteksnya ibu-ibu rumahan ya, pasti punya acara untuk mengisi tangki energi. Entah dengan berhenti sejenak, beribadah, power nap, secangkir kopi atau teh di tengah hari, makan makanan kesukaan, main game, tersenyum dengan kisah fiksi terbaru di deretan rak perpustakaan, bikin-bikin, atau ya berkarya.

Untuk saya, membuat konten sambil tidur lebih malam, meskipun besok lemes hampir setengah hari mirip buat tugas besar saat kuliah dulu, itu butuh rasanya menerbitkan senyum dan energi yang entah dari mana. Bekerja dan bermain tidak pernah ada batasan, karena mereka adalah sama dan setara. Pengertian ini saya aminkan untuk tumbuh kembang si Kecil juga untuk kami dua dewasa lain di rumah. Maka, layar lebih luas yang mendukung karya, seakan membuat saya bisa melihat hamparan ide dan menyusupkannya lewat jendela kata mengantarkannya ke berkeliling dunia yang tak berbatas.

Sampai di sini saya meyakini pembicaraan imajinatif saya dengan si Paling Beda sambil menimbang dan mengingat, telah menyampaikan pada tahap keputusan bulat bahwa ASUS Full HD Laptop adalah laptop terbaik  untuk kebutuhan nge-blog saya, penerus tugas mulia si Mio.


Leave a comment