Pulih bersama Makrofag: Sebuah Dongeng untuk Kesembuhan


Dalam sebuah sesi mengaji anak-anak, saya salah satu ibu-ibu yang suka nguping sambil mengerjakan yang lain-lain, dapat ilmu baru. Bahwasanya ada empat malaikat yang ditugaskan untuk mengambil sesuatu dari si Sakit. Hal yang diambil adalah: senyum, kekuatan, selera makan dan dosa. Saat seorang hamba sabar dan ikhlas dalam sakitnya, hanya tiga hal yang dikembalikan kepada hamba itu. Sedangkan malaikat yang bertugas mengambil dosa, tidak diperintahkan untuk mengembalikannya. Ia diminta membawanya ke lautan, biar ombak menghapusnya menjadi buih-buih, bagi hambaNya yang sabar dan ikhlas.

Fast forward ke sakit yang kami rasakan sebagai orangtua di ambang usia kepala 4 yang masih punya anak usia 6 tahun, saat tubuh sangat sulit diangkat untuk bersepakat melakukan berbagai aktivitas keseharian. Kami sadar, rasanya tidak ada bandingannya dengan yang dialami Nabi Ayyub AS. Beliau diuji sampai kehilangan hampir segalanya, fisik, keluarga dan harta benda keduniaan lainnya. Hanya keimanan yang dimilikinya yang membuatnya selalu merasa cukup.

Namun menyadari cukup itu adalah garis batas yang tipis antara kurang dan cukup yang sebenarnya, ternyata agak ngeri-ngeri sedap. Apalagi kalau menggunakan perbandingan yang melihat ke atas, samping kanan dan kiri, depan dan belakang.

Datang Pada Saatnya

Sakit selalu datang di saat yang, manusia pikir, tidak pernah tepat. Padahal sistem yang dibuat sempurna ini sudah punya indikator, bip, bip, bip yang lebih canggih.

Mirip sebuah sistem kerja yang sebelumnya sudah disepakati bersama. Saat salah satu pintu mobil tidak tertutup rapat, indikator di dashboard akan menyala. Saat lampu di bagian langit-langit diaktifkan, itu juga merupakan penanda kedua.

Maka sakit, termasuk pada A, seolah tak pernah diundang. Bakteri dan virus akan datang secara sukarela mengundang dirinya sendiri ke dalam tubuh. Pada kuantitas yang sudah tidak dapat ditoleransi tubuh. Belum sampai mematikan mesin, ada penanda sebelum benar-benar meredup. Bip, bip, bip.

Kerja Bagus Pasukan Darah Putih

Hal yang kami sepakati di rumah adalah melakukan observasi sebelum tergesa-gesa mengambil tindakan pergi mencari pertolongan tenaga medis. Karena kami punya ide dasar, tubuh memiliki kemampuan untuk menyembuhkan sistem kerjanya sendiri. Apabila sebuah benda asing masuk, tubuh akan serta merta melepehnya keluar. Hanya butuh waktu.

Maka respon yang kami lakukan adalah memberikan waktu dan kesempatan pada tubuh untuk istirahat dan memperbaiki asupan. Saat untuk masuk ke gua dan merefleksikan deretan yang bisa jadi akumulasi keadaan sakit ini.

Sebuah Ide

Memasukkan teori ke dalam praktik, idenya mudah, tetapi praktinya itu yang tersulit. Namun dalam ruang imajinasi yang terkembang, tidak pernah ada kata: tidak mungkin. Berbekal dongeng dalam seri Pasukan Pelindung Tubuh, Prajurit Darah Putih ini, semuanya jadi bisa masuk akal untuk A.

Prajurit Darah Putih Bertugas

Kami pernah membacakan buku ini dalam fase sebelumnya, saat A masih lebih kecil, buku ini punya 2 saudara kembar lain: Tentara Lendir Pernafasan dan Laskar Bakteri Baik. Ketiganya saling terkait. Masa itu, mulut mungilnya akan menyuarakan nama-nama tokoh dalam cerita bergambar ini, “makrofag”, “limfosit”, “basofil”, “eusinofil” dan sederetan nama yang rasanya saya pernah dengar di bangku sekolah. Terlewat begitu saja tanpa pernah saya ambil pusing.

Hampir tidak pernah, saya merasa kesulitan untuk menawarkan makanan pada A saat ia kecil, bahkan saat A sakit. Tetapi pertumbuhan mengatakan hal lain. A punya kempuan lebih untuk merasakan sinyal tubuhnya sekarang ini dan mengkomunikasikannya, sehingga banyak dialog yang tercipta. Kadag ia hanya butuh didengar, diyakinkan bahwa benar, semua makanan yang tadinya terasa enak, jadi berubah rasa. Tidak menerbitkan seleranya untuk makan.

Baru kemudian kami bisa bicara logika yang dibutuhkan tubuhnya untuk melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.

Narasi ini mengingatkan saya pada logika yang diberikan oleh Bee Wilson dalam bukunya First Bite: How We Learn to Eat, untuk mengenalkan pentingnya makan sayur-sayuran. Orangtua tidak bisa ceramah panjang lebar tentang makan sayuran hijau. Dicontohkan Bee makan brokoli. Dalam konteks kami, bayam atau daun ubi.

A Makan Tumis Daun Ubi

Mengenalkan sayuran baik dalam bentuk dedaunan ataupun buah, seperti yang disarankan Bee, perlu dimerdekakan. Nah lo! Iya, perlu pilihan sadar dari anaknya. Berikan waktu untuk ia memilih dari semua opsi baik. Misalnya dalam semangkuk sayur bayam, berikan kesempatan untuk anak mau mengambil bayam, wortel, labu siam. Ia butuh waktu untuk mengenali tekstur, bentuk, ukuran, ciri bahkan aroma masing-masing dalam proses yang berbeda. Misalnya saat dikukus, direbus, disup bahkan disajikan mentah, semuanya memiliki sensasi yang berbeda. Bagian terpenting sensasi sayuran ini sudah dikenalnya sebagai benda yang aman untuk dimakan.

Pilihan-pilihan baik ini bisa diambil, bisa juga diacuhkan, atau dipilih lain waktu dengan proses dan olahan yang berbeda. Perkenalan dan kesan baik yang perlu ditinggalkan. Bisa jadi bukan pada kali pertama, A mencoba dan mengenal rasanya. Belum sampai suka dan doyan yaa, hahah masih jauh itu. Baru sampai tahapan respon. Pilihannya, respon secara terpaksa karena disuruh orangtua atau natural.

Lalu respon itu dilanjutkan si Bocil dengan memilih atau menolak. Kalau ditolak, jangan sedih. Coba lagi dengan menawarkan sayuran yang sama dengan cara dan hari yang berbeda. Kalau ingat esensi sebuah penolakan, saya ingat sebuah ujaran bijak seseorang selepas lulus kuliah. Baru boleh istirahat kirim surat lamaran kalau sudah mengirimkan setidaknya 100 surat. Kalau baru 3 surat lamaran yang menyatakan penolakan, selalu ada kesempatan di kali berikutnya bisa jadi cerita indah menunggu kita.

Balik ke sayuran ya, cek ke tukang sayur, opsi yang lain. Lalu siap-siap terkejut, karena pilihan anak bayi bisa sangat ajaib. A punya masa suka sekali buah bit tumis. Semangkuk hanya untuknya sendiri, pelit dimakan secara tersembunyi. Keluar dari persembunyian sudah bawa mangkuk kosong.

A Kecil Rebutan Sayur Bening dengan Papa

Dari preferensi, barulah anak bisa memutuskan sayur andalannya. Bayam untuk setiap kali atau sesekali saja, wortel dalam jumlah besar, atau labu siam kukus untuk cemilan dalam perjalanan. Biarkan mereka punya andil dalam mengatur frekuensi dalam menunya. Baru, di tahapan setelahnya ceramah tentang vitamin dan nutrisi dalam sayuran punya tempat di dalam kepala anak. Karena tidak ada seorang pun yang suka dipaksa. Apalagi belum-belum diceramahi tentang wortel bagus untuk mata dan sejumlah doktrin lain tentang sayur.

Layar Terkembang

Narasi tentang Makrofag dan berbagai kekuatan supernya adalah cerita lama yang sudah mengendap di alam bawah sadar A. Entah bagaimana, saat matanya terasa panas, badannya terasa lebih hangat, ia sudah reflek minta tidur lebih cepat.

Keesokan paginya, rasa lapar mulai menyerang. Dengan badan yang masih lemah, ia minta disiapkan makanan. Nasi merah, tahu, protein (berganti-ganti antara: telur, ayam, hati ayam), sayuran dalam sebuah cangkir kecil.

Menu Lengkap dalam Cangkir

Sambil makan, ia minta ditemani. Sempat, ia menghilang sebentar dari kursi makan dan datang dengan buku Prajurit Darah Putih. Karena dalam obrolan singkat kami saat makan, kami membuat lakon Makrofag versus Kuman. A betul-betul menikmati khayalan liar kami tentang Makrofag yang menggunakan bahan-bahan makanan yang masuk ke tubuhnya untuk membentuk kekuatan melawan kuman.

Tahu yang dimakannya lebih dulu meluncur licin dan membentuk otot-otot di lengan dan kaki Makrofag. Nasi merah yang dikunyanya menjelma jadi bom nasi merah untuk memberondong kuman yang bersembunyi di bagian-bagian tubuh. Sementara wortel yang ditampung makrofag dengan mulut lebarnya yang terbuka membentuk teropong inframerah. Agak menyimpang, mengambil ide dari buku lain, bayam yang datang beriringan merupakan pasukan cadangan, yang dipimpin oleh ksatria bayam yang berkoalisi dengan prajurit darah putih.

Kami mebuat cerita antah berantah, saut-menyaut dalam sesi makan. Menikmati dan mengamini semua logika tentang prajurit darah putih yang perlu dikuatkan dan diberi energi saat tubuh lemah karena sakit. Menambahkan bumbu-bumbu dan intrik cerita dengan senjata rahasia dan beragam konflik, juga plot twist.

Di buku, Makrofag diceritakan sempat melemah dan butuh bala bantuan. Saat itulah A menyuap dan melicinkan wadah makanannya. Saat masih lapar, ia akan minta porsi kedua.

Piring Tambahan

(Almost) Happy Ending

Seperti juga cerita yang kami buat, ada plot twist dalam kisah nyata. Sebagai yang termuda dan terpapar makan sehat lebih banyak, dari kami bertiga A biasanya sembuh paling cepat. Semalaman demam, besok paginya, ia sudah bisa jungkir balik lagi.

Memori dan kenangan yang asik saat bercerita, membuat A ketagihan menjadikan waktu makan sebagai waktu diskusi tentang alur cerita kehidupan makrofag. Bahkan saat A sudah kembali sehat. Karenanya, setiap mau makan, ia minta selalu minta hal yang sama. Posisi berkhayal secara jamaah tentang petualangan makrofag. Tak jarang saya disusul ke dapur untuk diminta kontribusi dalam plot dan setting cerita. Dongeng untuk pemulihan ini ternyata juga punya babak pascakejadian. H+sekian dari kesembuhan. Biar agak seru dikit, kami juga menghubungkan dengan buku lain pembentukan sel dalam proses penyembuhan, untuk gambaran visual dari buku terbitan DK, How the Body Works. Belum sampai konten belajar yaa, masih jauh. Pelan-pelan dulu. Menikmati kemenangan saat ini.

Mengingat lagi pesan lama tentang lebih baik menjaga daripada mengobati. Dalam konteks dongeng ini, membahagiakan makrofag dengan limpahan makro dan mikronutrisi.


Leave a comment