Dari Balik Pintu Kulkas


Kejutan bisa datang dari mana pun, termasuk dari balik pintu kulkas. Pagi menjelang siang itu kami sedang lala la lili li, antara ngaso dari kegiatan sebelumnya. Yakni belanja dan bersih-bersih sambil berpikir kreatif untuk menu makan berikutnya, siang. Karena kami tidak punya agenda waktu tetap untuk jam sekian sarapan, makan siang dan makan malam. Penandanya hanya rasa lapar. Saat si Ghrelin, hormon penanda rasa lapar berbicara. Kami percaya, saat hormon ini menyingkap tabirnya, yang perlu kami lakukan adalah mempersiapkan seluruh sistem tubuh untuk siap menerima nutrisi yang masuk. Caranya? Masak!

Jadi kalau lapar datang, artinya alarm untuk membuka pintu kulkas, mencari benda yang bisa dimakan atau bisa dimasak. Ternyata kebiasaan ini diikuti oleh yang paling kecil.

Saat pintu kulkas tertutup, tubuh mungilnya terlihat membawa sejumlah bahan untuk diolah. Waktu cepat sekali berlalu, tingginya sekarang sudah hampir sama dengan pintu kulkas bagian bawah.

Sekelebat kami hanya melihat wadah tauge, satu buah kentang gendut dan sebutir telur rasanya. Kami hanya tersenyum. Si Papa angkat suara, “Wah mau masak apa ini?” Gadis kecil yang ditanya hanya mesem-mesem saja ngeloyor ke dapur tanpa menjawab. Seolah mau menyimpan rahasianya rapat-rapat. Kami paham.

Tak lama giliran si Papa yang membuka kulkas mengeluarkan beberapa bahan untuk memasak.

Saya sibuk berkutat dengan agenda ketik-ketik ketika keduanya sibuk uprak-aprek di dapur. Sampai ragam aroma bertebaran dan membuat perut semakin keroncongan.

Saya benar-benar tidak tahu yang terjadi di area dapur, sampai semua hidangan siap di lantai ruang tengah. Iya, kami makan lesehan bukan di meja makan yang sudah beralih fungsi jadi meja berkegiatan: kerja, zoom, baca buku, buat prakarya dan meletakkan benda-benda lainnya. Untuk fungsi yang terakhir, kami jadi perlu waktu khusus untuk membereskan meja yang sudah tidak terlihat karena semua benda diletakkan di sana, haha! Relate?

Kejutan!

Di dapur, ini cerita yang saya dapatkan dari keduanya sambil kami makan.

Papa (P): “Tadi si Ana ngerjain semuanya sendiri lho!”

Aliyna (A): *senyum

P: “Papa tadi cuma diminta bantuin merebus kentangnya aja.”

A: *senyum

P: “Ini apa saja bahannya?”

A: “Kentang, tauge, telur dan yang hijau ini roti.”

P: “Oh pantesan, dipikir ini apa hijau-hijau.”

A: “Rotinya dipotong pakai pemotong dan pengupas kentang itu lho!”

Saya (S): “Lucu bentuknya.”

A: “Iya makanya ini jadi bergelombang bentuknya.”

S: “Terus rasanya ini enak sekali.”

A: *senyum sambil mengunyah semuanya dengan nikmat

P: “Berapa ini nilainya dalam skala 1-100?”

A: 1000!

P,A,S: *ketawa rame-rame

Saat itu leptin, hormon penanda rasa kenyang berbaur dengan dophamine, si hormon penanda bahagia berpelukan.

Kalau saya harus mengumpulkan cerita-cerita kecil keberhasilan yang perlu masuk ke LinkedIn atau CV, rasanya kejutan dari balik kulkas ini perlu masuk highlight. Karena terkadang kita pikir sebuah hal besar datang begitu saja. Sebagai potongan kisah sukses dari langit. Padahal, yang instan pun, seperti mi instan datang dari banyak hal yang tidak instan. Butuh sebuah sistem pabrik untuk memproduksinya, butuh distribusi yang matang untuk sampai ke rumah konsumen, butuh dimasak di atas panci dengan air bergolak.

Memasak, sebagai salah satu upaya produksi makanan, adalah sebuah skill hidup. Agak terlambat waktu Saya dan si Papa baru mengasah skill ini benar-benar setelah dewasa. Saya belajar dan mendapatkan kesempatan waktu baru mau hidup jauh dari rumah dan keluarga. Sementara si Papa baru saat A mulai MPASI. Karenanya, kami merumuskan memasak menjadi sebuah skill yang A butuhkan untuk survive di dunianya kelak.

Dari balik pintu kulkas hari itu adalah satu fragmen cerita. Ada puluhan cerita yang membangun cerita hari itu. Tentang telur orak-arik buatanku sendiri yang pernah menjadi hits untuk A di era sebelumnya untuk menaklukan kompor. Ada masa frustasi memecahkan telur yang tidak sesuai harapan dan raungan tangis frustasi. Ada fase ketakutan kompor akan meledak kalau knopnya diputar. Ada tangan kecil yang melepuh karena menyentuh ujung teflon. Ada tahu telur kukus yang merupakan spesaliasi si Papa. Ada bekal kukusan sayur yang mesti dibawa kemana-mana. Ada adegan tutup muka dan sakit perut kakek-nenek yang berkali-kali berucap “hati-hati”. Ada kursi meja makan yang melekat ke meja dapur sebagai dingklik. Ada hari pergiliran masak yang dibuat dan belum bisa berjalan. Ada keseruan berjalan kaki bertiga belanja sayur sesuai selera kami hari itu. Ada hari, bulan dan tahun yang terus berjalan.

Lamunan saya buyar saat mendengar, “Dingiiiiin!” Tangannya sudah bisa menggapai pintu freezer. Dulu, butuh kursi kecil warna-warni untuk A membantu kami meletakkan ayam dan protein lainnya di sana. Kini tidak lagi.

Kejutan kami hari itu datang dari balik pintu kulkas, dari mana kejutanmu datang hari ini?


Leave a comment