Dari Sesisir Pisang


Dari Sananya

Kalau ditanya, satu hal yang membuat keluarga besar kami sepakat di antara banyak hal yang berbeda adalah pisang. Seperti dari sananya pisang ini dibawa dalam genetik.

Seperti yang selalu diceritakan ayah saya  berulang kali, membuat saya selalu terkikik. Paman Hamid, adik ayah saya, suatu kali ngambek dengan Umaknya (sebutan untuk ibu ayah saya). Paman Hamid ngambek dan pergi ke luar rumah hingga hampir magrib. Umaknya, nenek saya, memanggil-manggil namanya mencarinya ke sana kemari. Tidak ada jawaban. Nenek saya tak kurang strategi. Beliau merubahnya menjadi, “Middd, pulaangggg ada pisaaaangggg!”

Seketika anak bujangnya itu muncul dari persembunyian, menyambut yang dijanjikan umaknya itu, pisang. Si buah kesayangan.

Kisah bersama pisang juga datang dari si Papa. Suatu hari sepulang sekolah, Enin (mamahnya si Papa, iyaa, neneknya A) menjemput si Papa seperti hari-hari lain. Namun karena hari itu Enin merencakan membuat kudapan pisang goreng, mereka mampir untuk membeli pisang tanduk. Sampai di rumah, pisangnya sudah raib. Tersangkanya sudah barang tentu anak bungsunya yang baru saja dijemputnya itu, si Papa.

Sewaktu masih tinggalnya rumah kakek neneknya dulu, A terbiasa melihat hidangan sore berupa pisang goreng. Kadang berganti-ganti dengan sukun dan beragam gorengan lainnya, tetapi yang paling dominan di rumah itu pisang goreng. Sebab ada penggemar nomor satunya, Dato, ayah saya yang kemudian dipanggil Dato atau Dat-dat oleh A kelak. Pisang adalah fiesta!

Karena melihat kami semua makan pisang goreng, tentu saja A kecil ngiler. Jadi kami berikan saja. Ternyata pisang goreng jadi jalan A belajar proses makannya. Dengan tekstur yang keras di luar dan lembut di dalam serta paduan rasa manis dan gurihnya, pisang goreng seperti sebuah kenikmatan hakiki.

Kalau saja hari itu pisang goreng jatah tidak habis, selalu ada tim sapu bersih. Si Papa, saya dan A kecil, haha.

Di rumah Abah-Enin tidak jauh berbeda, A biasa ikut menyicip sajian berbagai rebusan dan kukusan. Dari mulai ubi, jagung, singkong dan tentu saja pisang!!!

Segitunya sama Pisang

Pisang telah menjelma menjadi kudapan termutakhir. Terlebih saat hendak pindah ke rumah kami sendiri, sebuah kedai pisang nangkring di seberang komplek. Hanya sekitar 150 meter paling jauh. Seperti sebuah pertanda. Maka hal logis yang kami lakukan saat bolak-balik menengok rumah dan mempersiapkan kepindahan adalah membeli pisang barangan medan di kedai itu.

Pisang barangan medan kemudian menjadi primadona sekian lama sampai kedai itu tutup dan berganti fungsi setelah sepetak tanah itu di jual.Beruntung, kegemaran kami akan pisang ini digantikan oleh kedai lainnya yang juga menjual kelapa muda di jarak yang lebih jauh setelah kami boyongan pindah.

Saat pandemi datang, ide-ide liar mulai bersileweran karena banyaknya waktu kami untuk bengong memikirkan ulang kehidupan. Satu di antara yang belum pernah terlintas adalah menanam pohon pisang barangan medan di sepetak halaman kami. Sebuah kebun umpel-umpelan yang tumpang tindih berbagai pohon dan tanaman hasil mengompos dan berbagai eksperimen yang kami lakukan bersama.

“Gimana kalau kita punya pohon pisang?” usul saya waktu itu. Tentu saja usul ini tidak diterima begitu saja. Saya harus mencari argumen-argumen “logis” untuk menguatkannya. Satu di antara yang saya ingat adalah rujukan betapa seringnya kami makan pisang, tentu tidak akan bisa keep up dengan pembuahan pohon pisang. Tetapi, setidaknya, kami bisa menikmati pisang hasil panen dari pohon sendiri. Mengurangi pembelian sedikiiiit saja. Waktu itu saya ingat, muka si Papa agak berubah sedikit. Ahahah. Lalu saya menambahkan fakta tentang kerennya pohon pisang yang bisa berfungsi sebagai banana circle, yang merupakan salah satu metoda pengomposan tradisional yang sudah dilakukan semenjak lama. Di masa itu, memang kami sedang membuat berbagai usaha untuk mengurangi sampah di antaranya dengan mengompos. Sambil saya sodorkan buku Mengompos itu Mudah karya Ibu DK Wardhani untuk dibaca si Papa. Bisa dibilang saat itu rencana berjalan mulus, karena saya dapat kabar tak lama sesudahnya, “Udah di-check out ya bibit pisang barangan medannya!”

Huhuy! Saya mau lompat-lompat saking girangnya. Terlebih waktu bibit-bibit itu datang. Ternyata si Papa beli dua. Bukan cuma satu. Katanya, biar kalau salah satu gagal, masih ada cadangan.

Satu pohon kami letakkan di samping rumah, tanah yang beririsan dengan tanah komunal. Satu lagi kami tanam di depan rumah, dekat carport yang sengaja kami biarkan terbuka tanpa atap. Hihi waktu itu sih alasannya karena belum ada keperluan untuk itu. Tetapi seiring pepohonan, termasuk si Pohon pisang tumbuh, kami jadi punya atap dari ranting dan dahan yang menjulur-julur ke arah carport mencari cahaya matahari karena di area kebun sudah cukup padat merayap.

Tanpa tahu banyak tentang pembuahan pohon pisang, kami seringkali berpikir buah pohon pisang itu ke membentuk kurva ke arah bawah, padahal yang benar adalah ke arah atas. Haha akibat gak pernah menyaksikan langsung. Cuma pernah makan. Tanpa pernah tahu siklus hidup pohon pisang.

Suatu hari kami dikejutkan dengan jantung pisang yang kuncupnya mulai tumbuh. Kami seperti anak-anak norak yang sibuk mengabadikan gambar dan saling membagi hasil pengamatan di setiap fase yang kami baru tahu namanya partenokarpi. Butuh waktu 3-4 bulan dari munculnya jantung pisang sampai buahnya dapat kami panen. Dalam masa itu, kami jadi paham berbagi dan menunggu adalah hal yang indah, bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga makhluk lain di kebun. Dulu sih, kalau tidak tahu proses “sulit” dibelakangnya, saya memandang sebelah mata dengan produk imperfect: pisang meleyot, codet, tumbuh bengkak bengkok, dan berbagai kekurangan lain yang membuat pisang itu adalah pisang yang normal dan wajar.

Panen pertama kami istimewa. Kami benar-benar puas dikejutkan dengan pisang yang ukurannya jumbo, rasanya kenyang dan mantap dibandingkan pisang yang kami beli. Suatu ketika, si Papa menyandingkan foto pisang barangan kami dengan pisang barangan yang kami beli. Lalu mengirimkan fotonya ke si Penjual pisang. Hal ini kami lakukan karena penasaran saking besarnya pisang barangan kami ini. Apa benar-benar bibit pisang barangan medan?

Pesan dikirimkan ke penjual. Jawabannya tak terduga, “Oh bisa jadi bibitnya tertukar dengan pisang ambon?” Oalahhh.

Semenjak panen pertama itu, kami sudah panen empat kali lagi. Alhamdulillah. Panen-panen itu membuat kami merasakan bedanya pisang hasil panen dan pisang hasil membeli. Meskipun bukan pisang barangan ya. Hihi.

Gaya Baru

Setelah merubah pola hidup dan pola makan kami menjadi lebih sehat, kami mengganti kudapan kami dengan buah-buahan. Pisang adalah salah satu superfood kami. Kapan pun di mana pun, pisang bisa didapatkan dengan mudah dan murah untuk di rumah, maupun di perjalanan.

Karena kami bertiga lumayan banyak makan pisang, satu orang bisa dapat jatah satu sisir. Iya, termasuk yang terkecil. Usianya juga tak lama, hanya 1-2 hari paling lama. Untuk yang paling lama habis pisangnya di antara kami bertiga, harus rela pisangnya dijadikan pinjaman lunak oleh 2/3 anggota rumah. Hahaa. Bahkan sempat kami membeli pisang sebanyak satu tandan. Komentar si Ibu penjual pisang, “Buat pengajiannya?” karena kebetulan kami membeli pisang di malam jumat yang biasanya rutin diadakan pengajian di beberapa tempat. Si papa hanya nyengir.

Jenisnya juga beragam, bukan hanya pisang barangan medan saja. Sebut saja: pisang ambon, ambon lumut, raja, tanduk, kepok, uli, merah, susu, emas, ah entah apalagi, rasanya kami sudah tidak terlalu peduli selama namanya pisang. Suatu kali karena tidak terlalu mendengar si Abang Pisang bilang jenisnya tertutup dengan suara riuh lalu lintas, saya pulang dengan nama pisang dumbo, ahahah padahal itu aslinya pisang siem.

Keunggulan pisang selain mudah dan murah, untuk kami punya poin tambahan, karena kulitnya bisa langsung dikomposkan. Buahnya dapat, kulitnya juga bisa jadi kompos, bahkan pupuk cair apabila didiamkan 1×24 jam dalam rendaman air. Untung, untung, untung. Yang saya suka. Yay!

Dari banyak olahan pisang yang pernah kami coba di antaranya adalah: pisang goreng, pisang rebus, pisang kukus, pisang bakar, kue pisang; ternyata yang kami paling suka: pisang langsung makan. Hap!

Kota di Luar Nalar

Seorang teman cerita kalau tinggal di Depok artinya tinggal di kota di luar nalar. Saya nyengir. Waktu itu si Teman berbagi kalau di rumahnya yang sedang diperbaiki Pak Tukang yang bekerja bilang di rumah Bapak Tukang itu toiletnya masih dilakukan dengan sistem gali lubang-tutup lubang. Masih ada ternyata. Kami pikir sistem ini hanya ada di luar pulau Jawa di tahun 2024. Tetapi ini ada di Depok di tahun 2024.

Dalam kumpulan kisah berbagi, seorang teman lain berbagi tentang kegiatan sebuah klub Voli yang diikuti anak-anak dengan seminggu 3x latihan berbiaya Rp. 50.000

Ketika sampai ke giliran, saya menceritakan tentang sebuah sanggar kegiatan seni yang sengaja tidak memasang tarif untuk anak-anak datang berkegiatan. Di teater itu disediakan sebuah kotak kencleng di mana orangtua bisa menyumbang seikhlasnya di akhir acara. Pay as you wish.

Untuk urusan makanan memang Depok punya banyak keistimewaan, di luar nalar. Dari mulai ringan tangannya para penjual untuk memberikan bonus pada setiap pembelian untuk para pelanggannya sampai harga yang rasanya tidak mungkin didapatkan di tempat lain. Misalnya pisang dengan banderol Rp 5.000, mi ayam dan nasi kapau dengan harga Rp. 10.000. Ibu saya sampai berhenti memastikan, “Itu pakai lauk gitu?”

Sampai suatu hari sakit, saya berbelanja pisang Rp.5000an yang berbonus pisang gratis. Waktu saya, “Tanya berapa harganya?” Si Abang Penjualnyan cuma bilang,”Bawa aja!” Saya benar-benar gak habis pikir. Mereka, para penjual ini bukan penjual wholesaler, benar-benar mempraktikkan jual beli bukan hanya semata keuntungan belaka. Karenanya, kami menikmati setiap belanja di toko dan warung kecil ini. Rasanya seperti di hari Jumat, mereka berlomba-lomba bersedekah, entah dengan bonus ataupun potongan harga jual. Rasanya niaga dilakukan dengan membawa kebaikan.

Dari sesisir pisang yang saya dapat hari itu secara cuma-cuma, telah membawa saya berkelana. Dari hanya sebuah penahan lapar, proses di balik kehadirannya sampai kebaikan hati mereka yang menanam dan membawanya sampai ke meja eh lantai rumah kami. Karena kami makan dengan lesehan.

Pisang yang sampai di rumahmu, telah membawamu ke mana?


Leave a comment