Berkemah: dari Rumah Juga Bisa


Kabita dari Cerita

Saya suka panas-panasan. Entah itu sekedar main bebas ataupun berkegiatan terstruktur bersama, dalam pramuka. Setidaknya yang saya ingat, selama siaga. Rasanya tidak ingin saya ketinggalan satu kegiatan pun. Belum seserius ikut jamboree internasional saja rasanya kenangan pramuka melekat kuat.

Ada keseruan bersama yang every now and then yang selalu ingin saya bagikan kepada A. Bukan sebatas serunya kemah, tetapi serunya hidup berdampingan dengan alam.

Saat A masih lebih kecil, kami suka makan di luar. Dalam artian, makan dengan duduk di tengah kebon. Di luar rumah, lesehan di tengah rumput yang tumbuh dengan sendirinya. Waktu itu, pohon-pohon besar masih berbentuk cerita, karena biji-biji alpukat masih berbentuk tunas dan biji-biji buah lain yang kami tanam, belum ada yang benar-benar muncul ke permukaan.

Dalam semilir, kami mulai mengkhayal di kebon, tentang sungai yang mengalir di sekeliling tempat kami makan. Juga tentang binatang yang kami temui di dalam hutan dalam perjalanan kami menuju tempat makan, tempat kami duduk waktu itu. Makan siang tengah hari bolong pun rasanya istimewa.

Di kebon, satu dari beberapa tanaman yang setia datang adalah putri malu. Kesayangan A dengan sifatnya yang sensitif terhadap rangsangan berupa sentuhan. Katanya tanaman itu tidak boleh dipotong, walhasil ada saja dari kami yang bergantian kena cucuk durinya, ahahah. Sampai akhirnya keriaan berganti musim, putri malu diikhlaskan A untuk menjadi penduduk di tempat lain.

Salah satu hal monumental yang pernah kami lakukan untuk mengatur circadian rhythm A selain keluar melihat matahari dan bulan bintang, adalah dengan memasang lilin di rumah malam-malam. Di tengah rumah kami berkumpul ngeriung. Berimajinasi kami bertiga sedang di depan api unggun, seperti kebiasaan yang dilakukan dalam acara kemah, saat malam hari. Kami berbagi cerita masa kecil kami. Hal-hal yang kami ingat pada kami menjadi anak. The good and bad memories. Banyak yang kami baru tahu dari satu sama lain juga dari diri kami sendiri. Kadang, kami juga makan malam atau sekedar membuat minuman hangat dan menyomot kudapan.

Di malam tanpa lampu, kecuali kalau ada yang mau ke toilet yaa, kami memperhatikan binatang-binatang kecil kerap datang ke cahaya kecil di tengah kami. Sebatang lilin yang kami bagikan bersama mereka yang melompat, terbang dan berjalan menyusuri cahaya. Menemani kami berbagi rasa hangat. Sesekali Abah dan Enin mampir ikut berbagi cerita di malam api unggun.

Serunya di dalam Kemah

Cerita kemah di Bandung, rumah Abah Enin kami dapatkan dengan Enin yang memberikan kejutan para cucu balitanya dengan menyediakan tenda kecil. Tempat mereka bisa bermain merajut imajinasi. Para sepupu yang hanya bisa ditemui A satu tahun sekali, setidaknya.

Tenda kecil ini kemudian membawa mereka pergi jauh. Ke dunia kecil di balik tirai. Tempat semua boneka tidur, tas-tas mainan, buku-buku dan hal-hal lain mereka simpan di rumah kecil bersama. Tentu saja tak lengkap tanpa tabrakan pada dinding-dinding khayal yang berbeda dari satu individu dan individu lainnya. Bahkan Enin dan kami para mama papa tak jarang mereka geret ke dalam multiverse yang mereka ciptakan.

Kursi-kursi kecil berdesak-desak dipaksa masuk, menjadi kereta dan alat transportasi lainnya. Tak pelak, tenda pun menjadi tempat bersembunyi andalan untuk bermain petak umpet. Meskipun si penjaga dan yang bersembunyi sama-sama berebut tenda sebagai markas bersama.

Ada kalanya tenda sudah terlalu kecil dan runtuh berguling-guling mengiringi tubuh-tubuh mereka yang bertambah besar dan tinggi. Bagian pucuk tenda yang berbentuk mirip tepee sudah habis berkali-kali dapat maintenance dari Mang Aam, asisten andalan Enin dan Abah untuk segala urusan.

Kemah Beneran

Setelah beberapa kali memperjalankan diri dan keluarga untuk melihat sungai dan air mancur beneran, kami yang gak pernah jadi anggota pecinta alam saat sekolah maupun di bangku kuliah, ngiler juga melihat pemandangan orang-orang kemah. Tanpa benar-benar tahu, mereka berkemah ala glam camp atau kemah sekemah-kemahnya. Yaa yang serius dengan bawa ransel gede isi kompor kecil, misting, tenda dan sleeping bag itu lhoo! Dalam pandangan kami, mereka super-duper keren!

Beruntungnya, saat salah seorang teman mengajak kami kemah. Kami senangnya bukan main. Membayangkan tidur di alam, meskipun bukan kemah hardcore. Saking excited-nya, kami bingung mau mulai packing darimana.

Maka kami menghubungi teman kami yang merupakan keluarga dalam kategori anak kemah serius. Maksudnya menanyakan kebutuhan keberangkatan untuk meminjam perlengkapan berkemah.

“Memangnya berapa hari? Di mana.”

Jawaban si teman sederhana, “Oh itu sih bisa pakai yang ada saja di rumah, tapi kalau mau pinjam juga tentu saja boleh,”

Pertanyaan kami dikonfrimasi oleh keluarga yang mengajak kami berkemah sambil membagikan ceklist perlengkapan keluarga mereka. Kami mesem-mesem. Karena sudah membayangkan keseruan pup di alam bebas sambil bawa sekop kecil dan dikubur lagi. Ternyata gak segitunya yaa, ahahha.

Concern lainnya adalah pola hidup kami yang sedang belajar zerowaste. Kami mau memastikan perjalanan kemah pertama kami ini tidak meninggalkan jejak di tempat kemah. Maka kami menyiapkan skenario menggali sisa organik, juga kemungkinan bahwa kami harus membawa pulang sisa organik dan mengolahnya di rumah saat pulang.

Hal agak serius berikutnya, keluarga yang mengajak kami berkemah ini sedang menunggu kelahiran anak ke-3 dalam hitungan hari. Kami menyiapkan mental untuk cukup berani mengambil risiko berada di tempat kemah namun harus segera ke rumah sakit. Satu lagi, di akhir tahun itu, ada ramalan BMKG bahwa akan terjadi badai yang cukup dahsyat. Tapi, tapi, tapi perihal waktu dan energi, juga excitement sudah disiapkan semuanya. Diputuskan kami, dua keluarga ini tetap berangkat.

Pengalaman kemah beneran ini ternyata buat A seru. Buat kami puuun. Meskipun kami punya escape plan untuk evakuasi, tidur di pendopo atau di mobil saat benar-benar tidak memungkinkan, seandainya badai besar datang.

Saat datang, kami disambut hujan gerimis yang hampir rata seharian kami rasakan. Anak-anak tentu bahagia. Main hujan, main lumpur, main kapal-kapalan di balong. Malamnya, kami batal bikin api unggun. Semua tidur cepat habis makan. Ahahaha.

Tengah malam, saya si Anak Gurun tidak bisa tidur nyenyak. Dingin! Sementara dua penghuni tenda lain, A dan si Papa – Para Anak Gunung—bahagia dengan udara sejuk sedemikian rupa dengan hujan terus sepanjang malam.

Dalam kegelisahan dingin, saya menikmati suara-suara malam. Krik-krik-krik. Mbeeekk. Kuk-kuk-kuk. Asal bukan auuuumm ya.

Lalu saya dengar bunyi lain. Tes-tes-tes. Huaaa tenda pinjaman kami dari pemilik venue bocor. Hayeeeuh, ada ajaa. Pas di dekat tempat saya tidur. Saya bergulung mirip kepompong di balik sleeping bag. Berharap mentari pagi lekas hadir.

Kukuruyukkk.

Besoknya, kami trekking sedikit ke Curug terdekat. Ibu hamil tinggal di tenda, menunggu kami pulang main di air terjun dalam keadaan menggigil dan kelaparan.

Overall it’s a good, oh, great experience buat kami bertiga. Nagih untuk kemah lagi. Naik ke tangga berikutnya.

Produksi bukan Hanya Konsumsi

A berusaha kami paparkan pada keseruan segala sesuatu buatan sendiri. Termasuk perihal kemah. Suatu hari, di rumah Dato dan Omama, A membawa mimpi menciptanya lebih tinggi.

Setelah mendapatkan cerita A dengan kemah yang beneran, ia berbagi pada Dato tentang keseruan pengalamannya. Berdua, A dan Dato kemudian berunding tentang membuat tenda. A tampil sebagai project leader. Dari mulai merancang material tenda, susunan hingga detil kecil. Termasuk merancang acara keseluruhan berkemah yang anggotanya terdiri dari A, Mama, Papa, Omama dan Dato.

Berdesakan kami duduk, tidur, rebahan di dalam sofa yang dijungkirbalikkan. Kami bertukar cerita lucu seperti rancangan acara A. Ada shalat di masjid dekat tenda. Ada juga acara mancing. Juga acara gelapin lampu ruang tengah. Tanpa sadar, inilah kesederhanaan bonding tiga generasi. Dirancang sederhana oleh yang paling kecil.

Pada dasarnya, semua orang boleh ikut, asal: taat aturan yang dibuat A. Ia memperbolehkan makan kudapan di tenda, di sebuah ruangan tertentu. Di saat tertentu pula. Ada saat berbagi cerita, kapan waktu bergulir dari pagi, siang ke malam.

Buat para tetua, perjuangan terberat adalah berganti posisi dari duduk, berdiri dan berbaring. Namun yang paling kami syukuri adalah kedatangan tabungan kenangan.

A belajar hal empati dari service learning melayani Omama dan Dato dengan mengambilkan mereka makanan dan minuman. Meminta mereka untuk tetap duduk sampai acara selesai, sementara ia menjadi sesi wara-wirinya.

Downsidenya, tentu saja rumah Dato dan Omama berantakan beberapa hari berturut-turut selama kami menginap dan “berkemah” di sana. Diiringi pesan A, “Kalau udah sakit pinggang tidur di kemah, boleh pindah ke kamar beneran, di tenda cuma ceritanya aja.”

Hal lain, A juga belajar bertanggung jawab membersihkan area permainannya, menjaga kebersihan dengan menyapu, mengepel, dan membersihkan remah makanan. Bahkan di hari kepulangan, ia menjadi project leader juga untuk demolisasi. Pantang pulang sebelum kemah ia bongkar bersama anggota keluarga lain.

Dari Rumah juga Bisa

Satu atau banyak hal dalam hidup, tidak akan pernah bisa diulang. Tidak pernah bisa tergantikan. Maka, hadir dalam acara perkemahan, jamboree lokal seperti ini, adalah pilihan yang tak akan pernah disesali.

Pernah berkhayal pergi jauh, mendaki ke gunung tinggi seperti kami? Menikmati pemandangan indah di sekitarnya, menjadi manusia yang penuh syukur? Tidur bersama semua suara alam? Hummh, bisa! Bisa dimulai dengan mendengar suara hati semua yang paling dekat di hati, di rumah, di tenda dalam rumah.

Kredit foto: Koleksi Pribadi dan Keluarga Nazromi Ahmad


Leave a comment