Sapu Terbang Nenek Sihir


Salah satu hal yang suka kami entar-entarkan saja adalah pembelian sapu lidi kebon. Selalu ada saja dalih, repotlah, karena kami biasanya berbelanja dengan berjalan kaki. Saat belanjaan sayur dan buah sedang banyak dan tidak ter-handle dengan baik, sapu lidi kebon ini seolah menjadi peresmian gelar  baru kami nantinya, nenek atau kakek sihir yang sedang berjalan di tengah kota. Ahaha.

Alasan lainnya yang bisa dimasukkan ke dalam top-5 reasons adalah, malas. Bukan malas membawanya, tetapi malas membayar pengeluaran yang kami tahu cepat atau lambat akan beli lagi-beli lagi juga. Jadi sebisa mungkin, sapu lama diberdayakan sedemikian hingga, pembelian sapu baru bisa ditunda selama-lamanya. Kadang, kalau sedang tidak menemukan toko yang tepat, kami sering kecolongan dapat sapu yang rasanya kok mahal amat sih!

Selama sapu lama digunakan secara sadis, dalam artian, sapu ijuk atau sapu lidi dalam rumah kadang kami pakai juga untuk mengumpulkan daun kering di jalanan depan rumah yang tertutup conbloc. Posisinya tentu tidak senyaman menggunakan sapu nenek sihir itu. Tapi ya dipaksakan harus jongkok atau bungkuk-bungkuk sesuai kemampuan sapu dengan geliginya yang tersisa.

Sampai suatu ketika kami diberikan sebuah kejadian yang memaksa kami mau tidak mau harus membeli sapu terbang nenek sihir. Tidak bisa lagi ada alasan menunda.

Hari itu, saya bulatkan tekad, harus beli sapu. Sambil menyiapkan mental kalau ada yang memandang saya cukup ajaib jalan kaki 2 kilometer dengan sapu lidi kebon yang bergagang itu. Ya setidaknya, saya masih bisa mengasosiasikan diri saya gak nenek sihir-nenek sihir amatlah, masih ada Hermione penyihir yang cakepan dikit. Lagian, saya juga gak belanja apel atau buah-buahan yang memungkinkan saya racuni.

Pelan dan malu-malu saya tanya ke warung yang saya lalui pulang dari membeli sayur, “Berapa, Bu?” Saya sudah mengincar warung itu. Sapunya paling banyak dan kayaknya dengan pengetahuan per-sapulidi-an saya yang terbatas, warung itu bisa diandalkan dalam hal perabot rumah tangganya.

Mas-mas yang duduk di area sapu membantu saya menyodorkan seikat besar gundukan sapu lidi it uke arah saya meminta saya untuk memilih sendiri. Saya benar-benar tidak tahu apa dan bagaimana saya harus memilih.

Keadaan ini saya rasakan mirip kondisi saya dalam dunia perpolitikan. Gak tahu mau milih siapa. Best from the worst? Tapi sapu, setidaknya saya bisa punya secara visual melihat appearance, menyentuh bendanya secara nyata, dan mencoba sedikit ketahanan performance-nya. Mirip test drive kalau membeli sebuah kendaraan.

Saya pulang dengan keyakinan itulah sapu terbaik yang saya temukan hari itu untuk saya bawa pulang. Si Papa dan A menyambut saya, “Mama pulang Pa, bawa sapu nenek sihir!”

Saya dengan bangga menceritakan pencapaian saya karena telah menemukan sapu itu seharga 1 lembar Frans Kaisiepo. Huray! Setidaknya untuk periode tertentu saya yakin, sapu nenek sihir ini akan bisa memudahkan urusan kami dalam fungsinya mengumpulkan daun kering untuk kami mengompos.

Pesona

Cerita sapu yang diperebutkan karena pesona nenek sihir ini sesungguhnya berawal dari A. Saat ia kecil, kami pernah bermain sapu lidi kebon sebagai buntut yang saya bawa kabur keliling komplek. Ia berlarian mengejar entah saya atau buntut saya itu. Tak mau kalah, A juga memberikan reward berupa buntut untuk dirinya sendiri dari daun kering. Kenangan yang rasanya baru kemarin beli sapu itu saat kami pindah rumah. Sapu nenek sihir pertama kami. Sesudahnya silih berganti sapu-sapu datang dan pergi. Ah waktu sedang meledek saya!

Episode selanjutnya, A sudah jadi anak sore komplek. Di antara hal seru yang diperebutkan anak-anak balita adalah sapu nenek sihir kami yang sudah ompong. Iya, itu waktu kami masih kekeuh gak mau beli sapu lidi kebon dulu. Entar-entar saja.

Mengingat pesona si Sapu Nenek Sihir, sinaps otak saya meluncur deras ke kedudukan orang nomor satu di negeri ini. Saya pernah berpikir, kayaknya keren jadi presiden deh. Entah kesambet apa dulu. Saat itu, saya berpikir belum ada nih presiden perempuan di Indonesia raya. Maka tergiurlah saya untuk hal-hal yang belum pernah. Tapi begitu pecah telor, gak seru lagi ternyata, ahaha.

Dalam sebuah utak-atik artikel, saya jadi tahu bahwa untuk menjadi orang nomor satu di daerah apa lagi di negeri ini tidak semudah itu. Dalam artian, perlu sebuah kendaraan politik sebut saja partai pendukung yang “disewa” oleh si Calon agar sampai ke maksud politiknya. Setelah sampai, tentu saja namanya sewa, ada harga yang harus dibayar setelah kendaraan mengantar ke tempat tujuan. Bisa jadi “harga” yang tidak selalu dalam artian uang sewa tetapi juga jatah politik sebagai imbalan balas jasa.

Mirip anak-anak ini yang melihat sapu sebagai sebuah pesona. Semua ingin sampai dan punya giliran mencoba. Apa lagi persepsi jadi penyihir itu lebih keren dari zombie dan mumi yang mereka perdebatkan sepanjang sore. Walhasil, sapu botak itu jadi rebutan yang diperlukan sebuah aturan main dari kelompok kecil ini. Tentu saja atas kesepakatan semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Terikat

Dalam pelajaran dan cerita klasik persatuan nusatara sapu lidi kerap dijadikan sebuah simbol persatuan. Satu individu yang dikumpulkan bersama dalam sebuah tata laksana pemerintahan yang adil dan bijaksana, akan mencapai tujuan bersamanya. Begitu teorinya.

Kalau teringat zaman pramuka dahulu, kelapa telah dipilih menjadi perlambang pramuka karena fungsinya yang dapat diturunkan dari banyak elemen organisme ini. Batang, daun, pelepah, buah dan banyak lagi. Saat diikat bersama dengan sebuah batang bambu, kekuatannya dan fungsi bersamanya semakin kuat. Sapu lidi nenek sihir.

Pemimpin dari negara yang majemuk ini tentu saja harus bisa mengakomodir segala arah yang ditunjuk oleh lidi-lidi kecilnya. Banyak mulut, banyak perut, banyak keinginan, banyak juga kepentingan.

Berdiri tegak dalam tonggak, seperti batang bambu di tengah kumpulan lidi, artinya punya kekuasaan yang seharusnya tidak pernah dilihat sebagai bentuk kekuasaan. Tetapi sebagai wisdom untuk melihat lebih jauh, lebih tinggi, lebih arif tentang kebutuhan bangsa ini. Berlaku sebagai drone yang mampu mengakomodir keputusan yang menyangkut rakyat banyak. Bukan hanya sebagian golongan.

Karena dengan memilih sebagai sebuah bangsa artinya kita semua telah sepakat terikat pada suatu nasib, pada sejarah yang tertinggal di belakang dan pada harapan yang menanti di depan.

Begitu juga sebaliknya, saat pemimpin memilih mengikat dirinya pada kepentingan bangsa. Gerakannya, pilihannya, keperpihakannya bukan lagi pada dirinya dan keluarganya, tetapi pada hal bersama yang digerakkan dalam sebuah mekanisme pembersihan sebagaimana fungsi sebuah sapu lidi kebon. Alih-alih terkadang, ia pun butuh berperan ganda sebagai sapu terbang nenek sihir, yang siap membawa terbang nenek sihir, iya nenek sihir itu kepentingan bersama yang diperjuangkan dan hal-hal yang seolah mustahil, dan lidi-lidi kecil ini bersamannya. Menembus awan, bertahan dalam kemarau panjang dan hujan badai. Sampai tiba saatnya.

Akan Botak pada Saatnya

Tentu saja sapu lama harus rela berganti sapu baru saat sudah botak. Dari sisi fungsional, tujuan utama sudah tidak dapat dilakukannya lagi. Maka, sapu nenek sihir ini harus rela digantikan dengan generasi berikutnya. Sapu lain yang telah dipersiapkan dari pelepah sawit, pelepah kelapa ataupun pelepah aren.

Karena waktu berganti, menjadi tua, menjadi rusak adalah sebuah keniscayaan hidup. Kecuali, kecuali ya, semuanya sudah tidak alami lagi. Memilih borax, formalin dan berbagai bahan kimia pengawet lainnya. Untuk sapu lidi, hal serupa cat, selotip, lapisan plastic yang disematkan padanya sehingga si Sapu tak dapat menemui siklus hidupnya. Membusuk. Habis masa layan. Terurai untuk keberlangsungan kehidupan berikutnya.

Saat seonggok sapu, ehem pemimpin menolak masa botaknya. Kekuasaan bukan lagi menjadi alat bantu, tools untuk memakmurkan, tetapi menjelma menjadi alat lain. Sudah banyak contoh tidak indah untuk raja diraja ini. Dengan akhir kisah yang beragam dalam sejarah bangsa ini maupun dari luar sana.

Saya ingat kata sejarah, sajarah dalam bahasa arab, yang juga berarti pohon. Sebuah pohon yang tumbuh dari biji, kecambah, tunas, tumbuhan muda sampai akhirnya menjadi tumbuhan dewasa, tak lepas dari sebuah siklus. Pohon-pohon dewasa menjatuhkan daun, bunga, buah dan bijinya. Menerbangkannya untuk memulai kisah yang baru.

Kita semua akan memulai kisah baru nanti. Terlepas kita, lidi-lidi yang punya kebebasan memilih atau tidak memilih. Ada hal-hal yang perlu kita selamatkan bersama.

Cita-Cita Luhur

Mengumpulkan daun kering demi kebutuhan mengompos adalah cita-cita luhur kami saat menginvestasikan sejumlah uang, waktu dan energi untuk sapu terbang nenek sihir. Selain fungsi tambahannya sebagai permainan anak-anak komplek.

Memberikan ruang untuk mimpi dan imajinasi anak-anak ini terbang tinggi. Menyadarkan kita semua tentang kekuatan dan keberdayaan kita untuk menggunakan hak pilih untuk cita-cita luhur bangsa. Juga bersuara keras saat semua fungsinya tidak lagi tepat dirasakan hati nurani.

Karena seharusnya kita semua semudah itu me-reach out pemimpin.

Tulisan ini dibuat dalam rangka rame-rame ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog mumpung masih di awal tahun.


10 responses to “Sapu Terbang Nenek Sihir”

  1. Seru ya teh Jade itu permainan sapu lidinya ha3 … Aku juga punya sapu lidi botak. Benar banget bahwa menjadi pemimpin gak boleh buat kepentingan diri dan keluarga. Namun, kepentingan bangsa dan negara itu utama.
    Tetap semangat ya ..

    Like

    • Iya Teh Dewi, awalnya sih malu-malu, setengah-setengah waktu diajakin main sama Aliyna dan teman-temannya. Lama-lama all out hihi, sampai sapu jadi rebutan, semua mau jadi nenek sihir:)) Bener banget, di luar semuanya itu. Butuh yang mementingkan dirinya sendiri jadi nomor sekian.

      Like

  2. Dari judul dan penulisan analoginya, auto membuat saya menilai tulisan Teh Jade masuk jajaran terunik. Kreatif sekali, Teh.
    Dari habit keseharian Teteh, bisa terkandung hikmah dan nilai filosofis perihal bagaimana seorang Pemimpin yang baik dan benar.

    Betul Teh, adil dan bijaksana merupakan harga yang tak boleh ditawar, it’s a must.

    Like

    • Masya Allah, nuhun Teh Uril. Kadang inspirasi dateng waktu masak, nyuci piring atau pas main sama Aliyna, nah kemarin ini habis beli sapu hihihi, gara-gara maksain pakai sapu botak yang ada segala encok kumat :)))

      Like

  3. Tapi emang bener ya Jade, beli sapu itu walau penting memang suka di ntar-ntar. Bukan apa-apa, bawanya perlu khusus. Kami ngalamin juga nih pas perlu sapu lidi atau sapu dalam rumah. Gagangnya panjang! Mungkin suatu saat nanti ada sapu dengan model gagang yang bisa dilipat biar nggak repot bawanya. Ha…ha…

    Like

  4. Awalnya lumayan bingung nih, sebab judulnya kok kelihatan gak nyambung sama temanya. Gak tahunya sapu lidi adalah analogi dalam kepemimpinan. Bahkan pembahasan pemilu pun bisa masuk juga ya. Ini unik lho. Termasuk betapa butanya kita kepada calon-calon anggota legialatif yang harus kita pilih karena kita gak kenal. Mereka hanya ditampilkan info pengalaman berorganisasi dan pendidikannya. Itu pun tidak semua ditampilkan. Visi dan misinya pun tidak ada. Berbeda dengan sapu lidi yang bisa kta pilih degan jelas karena kita lihat dan pegang langsung, sehingga kita bisa memilih mana yang berkualitas untuk kita gunakan.
    Salut dengan sudut pandang dalam tulisan ini.

    Like

    • Masya Allah, nuhun Teh Sari. Hihi maap jadi bikin bingung ya sama metoforanya. Nah ini banget, ngebuka visi misi yang bisa diakses publik kenapa isinya kosong melompong, apa yang mau dilakukan? Kalau lihat spanduk isinya cuma nomer urut, bukan idenya apa. Jadi gak seru yang kelihatan cuma nama, gelar bererot tapi apa yang mau diperjuangkan lihat di mana gak tahu. Yup hands on ya, Teh. Kalau udah kelihatan murudul, bahan gak enakeun bisa langsung protes di toko apa warung yang jual.

      Liked by 1 person

    • Masya Allah, nuhun Teh Ririn. Iyaaa hehehe klasik ya contoh sapu, Teh, tapi entah kenapa pas menerjemahkan semua rasa gak enak itu, ya asa pas gitu kemarin.

      Like

Leave a comment