Penguasa Ayunan


Sambil Menunggu

Sore itu, datang ke salah satu taman publik adalah rencana dadakan. Saat menunggu A bermain itulah, kami baru sadar bahwa ia hanya anak gadis 6 tahun kami. Melihatnya berlarian ke sana kemari, membuat kami jadi ingat keseharian kami beberapa saat belakangan, membuat kami lupa, ia bukan orang dewasa, dewasa muda apalagi remaja. Ia seutuhnya anak-anak.

Ngobrol receh sereceh mainan favorit di dalam taman bermain kemudian menjadi topik penting kami. Si Papa memilih perosotan sebagai wahana andalannya. Kenapa? “Enak aja sih, serosot!” Oh, jawaban menarik dan sangat gamblang, khas si Papa. Haahaha. Giliran saya, tentu saja ayunan. Saya suka semua stimulasi yang dibawa permainan itu.  Mulai dari ketinggian dan bagaimana ujian keberanian dan indera vestibular saya teruji. Bertahun-tahun setelah ayunan pertama saya, saat wahana ayunan besar berupa perahu kora-kora di Dunia Fantasi membuat saya ketagihan mencobanya berkali-kali tanpa sedikitpun bergidik. Sampai ayunan yang berfungsi sebagai wahana bengong berkualitas, melambat dalam hidup dan santai menikmati taman bermain di mana pun dan kapan pun yang sering membuat saya malas beranjak. “Samaaaa!” kata si Papa yang menyetujui fungsi ayunan yang ke dua yang saya ungkapkan, menurutnya poin ini lebih aku banget.

Kami menikmati sore yang beranjak di antara pepohonan hutan buatan ini, sambil sok-sokan berdiri. Antara malas duduk di kursi taman yang disediakan karena ada perokok yang duduk di area sana padahal sudah jelas ada tanda ‘dilarang merokok’. Daripada konstan merutuk dan mendamprat, kami lebih memilih menghindari arah asapnya. Tak jauh dari sana, tampak sepasang suami istri yang sedang asik ngobrol sambil membiarkan anak balitanya berjalan tanpa celana. Huff. Ini juga daripada yang berikutnya, sore masih panjang, rumah kami masih jauh. Energi baiknya disimpan.

Sambil ngobrol dan memperhatikan A dari perimeter yang berbeda dari biasanya, kami mulai sesi observasi. Menyadari sebuah hal lagi. Anak ini telah memilih nyaman pada jarak pandang yang berubah, lebih jauh dari sebelum-sebelumnya. Kami bergantian mengenang. Masa-masa yang sudah lewat, saat kami bergantian juga harus ikutan naik perosotan, ayunan, enjot-enjotan di area permainan anak yang bebas dari tanda ‘hanya khusus anak-anak sampai usia 12 tahun’. Atau saat A mau meilhat kami dari jarak super dekat dan merasa insecure saat kami hilang dari radarnya. Ahhh masa itu sudah lewat. Cepat sekali rasanya.

Padahaaal, dulu, waktu seperti bergerak sangat lambat.

Interaksi

Darah penguasa ayunan dari kami berdua rasanya mengalir deras pada A. Saat kami sadar, ia tengah bereksperimen tanpa henti, di wahana itu.

Di taman, sore itu, A tengah berayun bersama seorang anak perempuan bertubuh gembil yang rasanya lebih muda darinya beberapa tahun. Anak berbaju pinko ini sepertinya merupakan pentolan di kalangan teman-teman bermainnya. Meskipun lebih muda dan berbicara dengan kata-kata yang belum terlalu jelas, teman-temannya tampak enggan berkonflik terbuka dengannya. Seperti waktu mereka mengutarakan maksudnya untuk meminjam ayunan kepadanya yang dijawab dengan judes, “Aku masih mau maiiiin.” Lalu kedua anak lain buru-buru pergi dan menganulir ide main ayunan saat itu juga.

Anak-anak itu entah mengapa tidak cukup nyali meminta giliran untuk naik ayunan seperti kepada Anak Pinko ini. Entah karena mereka sudah saling mengenal atau A adalah wajah asing untuk mereka.

Saya masih mengamati dari jauh, membiarkan A menyelami ragam konflik dan riak-riak kecil kehidupan sementara punggung si Papa mulai berteriak memintanya untuk sejenak duduk di tepian. Membiarkan saya meninggalkan sepasang mata pada A dari jarak aman. Untuknya berdinamika dan untuk kami memastikan ia berada di dalam ruang yang aman untuk bermain.

Anak-anak dengan segala keberaniannya, mulai mencoba berayun dalam berbagai posisi. Kemudian, jiwa-jiwa keberanian mulai berkobar. Bukan semata kompetisi, tetapi lebih ke saling menginspirasi. Saat A mulai bosan berayun ke arah yang wajar, ke depan, ia mencoba gaya samping. Kanan dan kiri. Si Anak Pinko tak mau kalah, ia pun mencoba dan menemukan keasikannya.

Satu per satu jurus mulai mereka berdua, A dan si Pinko, keluarkan. Saya hanya tersenyum sambil terkikik mengabadikan. Gaya ayun arah belakang, samping kanan, samping kiri, putar balik, menutup mata sambil menghadap langit, gaya gubrak, sampai merayap ala spiderman. Mungkin, mungkin mereka sedang berkhayal memanjat di tebing curam, atau entahlah, ke mana imajinasi telah membawa mereka pergi, jauh, tinggi.

Terpicu Adrenalin

Di taman itu, A belajar mengukur diri dengan ragam konflik. Ia menilai kapabilitas dirinya. Saat ada kemungkinan bersitegang dengan individu atau kelompok yang mengakibatkan ia harus mengeluarkan energi besar, ia memilih memutar jalur perjalanan bermain dalam taman itu. Konkritnya, mengatur jalan memutar untuk naik ke perosotan yang riuh dengan konflik anak-anak lain yang sibuk dengan keriaan lain sepanjang jalan menuju area perosotan.

Sewaktu kecil, saya pernah dibawa salah satu Paman untuk ikut keluarganya menonton acara pasar malam. Saya ingat benar atraksi yang mendebarkan, Tong Setan. Kami duduk sangat dekat dengan pengendara motor yang meluncur sepanjang silinder tempat kami menonton. Kala itu, saya lebih takut kalau si Pengendara jatuh, terluka atau pun tewas karena failed dalam misinya memberikan atraksi pada penonton. Setelah dewasa, jadi ibu-ibu seperti sekarang, nyali saya lebih ciut waktu membayangkan kami—para penonton—akan tergilas si Pengendara kala ia gagal menunaikan atraksi. Mungkin 11-12 dengan ragam sirkus lain seperti binatang yang harus melewati lingkaran api atau balok keseimbangan di atas bangku penonton.

Tapi anak-anak, memang makhluk yang lain saat diberikan ruang. Mereka mencari keseruan dan memecah kebosanan juga kerutinan dengan sesuatu yang tidak biasa.

Lumrah untuk kami menyaksikan A memanjat perosotan dari bawah ke atas. Atau meluncur di area yang seharusnya untuk area luncur dengan sepatu roda ataupun skateboard. Iyaa, jadi tahu kan kenapa bajunya seru sekali, pulang bermaian.

Saat taman bermain penuh, A harus menghadapi konsekuensinya. Buat kami itulah bagian dari latihannya menghadapi konflik, pendewasaan diri, setelah persoalan kepuasan adrenalin terpenuhi. Tak perlu kami, dengan tangan dan aturan dewasa bermain di dalamnya. Memberikan anak-anak ruangnya sendiri. Tempatnya sendiri tanpa harus, mengeluarkan jangan dan awas, apalagi sibuk mengawasi dan memarahi anak-anak orang lain. Saya jadi ingat Taman Tanpa Aturan-nya Mas Noor H. Dee. Saya tiba-tiba ingin itu yang benar-benar hadir di depan saya.

Atraksi lain A sore itu adalah melambatkan langkahnya untuk meluncur di atas perosotan. Saya menonton dari jauh, observasi dan melihat rencananya. Sampai beberapa orang tua sudah terlihat gusar.

Terprovokasi

A masih melakukan aksi slow motion-nya, dengan turun pelan-pelan sambil berdiri di perosotan untuk turun ke bawah melalui lekak-lekuk alur luncuran. Seorang ibu dan seorang bapak mulai terganggu. Ikut-ikutan.

Si Ibu berseru, “Tabrak saja!” dengan muka beringas. Sementara si Bapak bersiap  maju dan melakukan gestur hendak menarik badan atau tangan A agar ia bersegera menyelesaikan giliran luncurannya.

Saya memutuskan masuk ke dalam konflik orangtua. Melindungi A untuk tidak sampai tertangkap entah tercengkeram si Bapak. A baru sadar saya ada di sana. Kami berkomunikasi lewat pandangan, saya hanya perlu memanggil namanya, ia tahu yang perlu dilakukan.

Buat saya, babak sore itu gak seru. Spesifiknya, saat orangtua terprovokasi konflik anak-anak. Daripada memberikan ruang untuk mereka menyelami arti kebersamaan tanpa aturan-aturan dewasa yang harus begini, harus begitu. Secara organik, dengan kemurnian jiwa-jiwanya, mereka punya peluang untuk menyerap dan mengalami.

Saya ingat benar, salah satu buku SALAM yang ditulis oleh Pak Toto Rahardjo yang mengekspos kelebihan belajar saat mengalami dibandingkan hanya mendengar ataupun melihat.

Sumber: Sekolah Biasa Saja, Toto Rahardjo

Di buku itu, dicontohkan dengan komik strip sederhana tentang pengalaman anak yang pernah membuat kincir angin. Anak yang pernah membuat kincir angin lebih punya daya untuk mereka ulang pengalamannya dibandingkan dengan anak yang hanya melihat di televisi ataupun mendengar cara membuatnya sepintas lalu. Saat itu, dengan membuat kincir angin, ketiganya, bahkan si Anak yang pernah membuat, mendapatkan lapisan baru pengetahuan, dengan membagikannya kepada teman-temannya.

Penguasa Sesungguhnya

Pada akhirnya, Sang Penguasa Ayunan kehidupan adalah pribadi-pribadi yang tangguh bergelut dengan konflik. Setiap harinya. Mengelola rasa bosannya. Menemukan dirinya di tengah lautan keadaan tempatnya berdiri. Menyesapkan diri dengan lingkungannya sebagai sebuah elemen yang sama. Sama-sama memperkuat satu sama lain sampai bandul kehidupan berakhir. Sambil menunggu, dengan banyak cara. Bukan cara-cara untuk menghindar paling tepat dari konflik, tetapi untuk meretaskannya. Dari yang paling sederhana. Sampai tingkatannya terus naik.

Saya sih yang butuh terus ngaca dari pertanyaan retoris kecil ini. Apa saya sudah memberikan ruang untuk anak berkuasa atas ayunan hidupnya? Atau saya terlalu pusing memikirkan semuanya, sehingga ini bukan tentangnya lagi, tetapi (melulu) tentang saya?


Leave a comment