Belalang Istimewa


Berbagi

Kami, saya, si Papa dan A—putri 6 tahun kami—seringkali berbagi hal sederhana, termasuk semua hal yang kami temukan. Seperti belalang pada suatu hari. Bukan dengan ukuran yang lazim kami temui.

Pagi itu, saya menemukannya di balik daun pohon pisang, dalam ukuran jumbo. Ia sedang asik mengunyah daun-daun di atas sana. Saya menemukannya secara tidak sengaja saat sedang melakukan kegiatan paling berat untuk saya, sepanjang hari, stretching. Iya, iya, bergerak buat saya butuh energi besar. Perlu sebuah dorongan dan tarikan kepada diri sendiri.

Kembali ke belalang besar, yang pagi itu menjadi obrolan receh antara saya dan si Papa. Kami mendiskusikan suara kepakan sayapnya yang sudah seperti daun tertiup angin dan kecepatan dan intensitas lebih tinggi. Ahh, motivasi yang indah untuk memulai hari.

Saat matahari beranjak naik, saya merasakan kepentingan untuk menceritakan pemandangan indah saya dan si Papa sepanjang pagi kepada A yang sedang asik main di area lain kebun. Saya mengajaknya tepat ke titik di mana pengamatan ke arah daun pisang yang sama. Nihil. Belalang besar itu telah menghambur. Tapi setidaknya, dapat saya tangkap di kamera ponsel. Meskipun beda sensasinya.

Belalang Benjol

A duduk di atas tangga yang kami bentangkan secara horizontal, guna keperluan menjemur baju. Sering juga, A menambah fungsinya sebagai area panjat-panjat atau sekedar nongkrong bengong cari inspirasi, selain di dahan pohon.

Saya dan A melanjutkan sesi ghibah penting kami. Ngobrolin belalang besar yang kami curigai sebagai engkong, atau minimal emak, dari belalang-belalang kecil yang bertengger di sana-sini di wilayah banana circle kami.

Tiba-tiba A mengingat pertemuannya dengan belalang dengan benjolan kecil di bagian kepalanya. Belalang Benjol ini ditemukan A dan si Papa beberapa minggu yang lalu. Saat menemukannya, mereka mengira ada kotoran di atas kepalanya. Tetapi sejumput lingkaran berwarna kecoklatan itu ternyata bukan kotoran belalang itu maupun kotoran hewan lainnya. Kami memastikannya, karena saat menyentuhnya, benjolan itu seperti layaknya sanggul, solid menyatu dengan kepala sang Belalang.

“Ana jadi inget belalang yang di kepalanya ada benjolan itu.” Saya mendengarkan deskripsi A tentang ingatannya. Sampai ia melanjutkan kalimatnya, “Mungkin itu keistimewaannya, Ma!” saya tidak yakin bagaimana perasaan saya saat itu. Istimewa yang jelas, mendengar kata istimewa dibuat dalam konteks yang diangkat A.

“Kenapa Ana bisa bilang belalang itu istimewa?” kalimat ini yang meluncur.

“Karena ya, dia berbeda sama belalang yang lainnya, yang kepalanya gak benjol.”

Saya masih mengagumi bagaimana kata istimewa yang keluar. Bukan aneh, berbeda, kata-kata lain memiliki tone yang sama untuk menyatakan keunikan sebuah organisme.

Kepala saya masih penuh dengan berbagai dugaan konten dan konteks yang mungkin mengisi kepala A dengan ide istimewa ini. Saya ingat sebuah buku yang diberikan secara khusus oleh Ibu Sri Wahyaningsih, tentang anak yang mempunyai keistimewaan dalam sebuah kelompok pertemanan. Apa iya dari sana?

Semut Bergaris

Waktu saya bermain-main dengan segala hipotesa dalam kepala, A memberikan saya sebuah premis lain yang menguatkan konteks istimewa yang diyakininya.

Begini penjelasannya kepada saya waktu itu.

“Sama kaya istimewanya semut kalau dia lagi lapar, ada garis-garis tipis di perutnya. Kalau udah kenyang, garis-garis di perutnya menebal.”

“Oh, Ana tau dari mana?”

“Dari Professor Sichorru!”

Saya masih terbengong-bengong ditinggalkan A di sisi tangga, sementara A sudah menghilang ke dalam rumah, meluncur turun dari tangga secepat kilat.

Dari dalam rumah, saya mendengar ia berteriak, “Sebentar ya, Maaa!”

“Iyaaa,” saya menunggu dengan antusias masih di titik yang sama saat ia meninggalkan obrolan seru kami.

Tidak lama, “Maa, bisa bantu Ana cari buku Professor Sichorru yang semut gak?”

Itu dia kejutan yang menanti saya. Sebuah referensi.

Tak peduli betapa sederhananya referensi itu.

Konsep Istimewa

Sebuah keseruan mengulik fakta yang punya dasar, referensi. Saya merasa researcher kecil ini telah belajar sebuah hal yang perlu didasarkan pada sebuah fakta yang punya basis referensi. Bukan pada “katanya” ataupun “kayaknya”.

Agak jauh dari tenggat waktu ini, A belajar kata disabilitas yang kami sandingkan dengan kata istimewa. Saat itu konteksnya karena si Papa sedang ikut dalam sebuah penelitian yang fokusnya pada penggunaan fasilitas transportasi publik yang perlu dibenahi agar penyandang disabilitas merasakan manfaat yang sama besarnya dengan pengguna lain.

Lain, berbeda, diperkenalkan kepada A sebagai sebuah keunikan individu. Bagian dari kebesaran kreasi Sang Pencipta. Karena kita semua diciptakan tidak pernah benar-benar sama. Bukan, bukan itu yang perlu diperbesar. Tetapi, kebesaran dalam merayakan perbedaan itulah yang menjadikan kita, manusia, harusnya menjadi makhluk yang istimewa.

Penemuan belalang istimewa dan membawanya dalam pembicaaran kami hari itu. Ke dalam kesadaran, membuatnya menjadi berbeda.

A kembali dengan buku Professor Sichorru yang dimaksudkan. Membuka halaman yang ia ceritakan sebelumnya. Sebuah pengetahuan baru untuk saya. Bukan hanya dalam kerangka sains, tepatnya dari kerjaan serangga. Tetapi juga dari balik tirai A dalam kepala A yang tersibak.

Berburu Belalang

Belalang, sesudah dan sebelum itu, telah menjadi sahabat kami. Salah satu keluarga dalam kebun. Baik dari keluarga belalang sembah, maupun belalang biasa.

Selain di kebun, di area komunal komplek kami juga sering menemukan tempat persembunyian keluarga belalang.

Beberapa hari yang lalu, A berbagi tempat persembunyian ini bersama teman-teman kecilnya. Reaksinya tentu saja berbeda. Ada yang ketakutan untuk melihat apa lagi menyentuhnya. Ada pula yang berniat untuk menginjak-injaknya seolah itulah monster yang perlu dibinasakan.

Satu lagi pelajaran, buat A juga buat kami, bahwa di setiap rumah sebuah benda, seekor hewan bisa dipandang sangat berbeda. Teman, sahabat, keluarga, bahkan musuh.

A memperlihatkan belalang bukan seekor hewan yang perlu dibinasakan, bahkan bisa diajak bermain. Entah bagaimana si Papa dan A memigrasikan belalang pagi itu ke area pohon pisang di depan rumah kami. Negasi dari pandangan bahwa belalang adalah agresor.

Di luar dugaan, sore harinya, saat A sedang dalam tidur pulasnya, teman-teman kecilnya datang. Untuk mengajaknya bermain. Sambil menanyakan keadaan belalang tadi pagi yang dibuat sanctuarynya di kebun kami.

Saya menyampaikan bahwa A masih lelap tidur, saya akan menyampaikan pesan mereka nanti. Namun mereka tidak sabar kembali lagi beberapa saat kemudian dan menceritakan belalang baru yang mereka temukan di tempat lain.

Ah, cerita lain yang menghangatkan hati. Tentang bagaimana sebuah ketakutan dihadapi. Dipandang berbeda. Tentang sebuah makhluk yang punya kesempatan untuk hidup berdampingan. Dalam hubungan baru yang istimewa.


Leave a comment