Dekomposisi pada Saatnya


Kita semua akan berkembang pada saat yang tepat menurut semesta. Kita akan melunturkan keegosian dan menjadi lebih mengerti segala sesuatunya. Termasuk konsekuensi terdekomposisi pada saatnya. Seperti juga Kik, Kuk, Kupu-kupu dan Lalu Kluk.  Mereka bukan sekedar nama, kupu-kupu, yang disematkan A tetapi mereka adalah kumpulan pengingat bahwa hidup kita semua akan berakhir sama. Membusuk di dalam tanah dan terurai menjadi elemen yang lebih sederhana lagi.

Seperti para pendahulunya, Lalu Kluk ditemukan A di antara daun kering. Sudah berusaha keras terbang ke sana kemari. Tetapi jatuh lagi. A segera tahu apa yang harus dilakukannya. Ia pergi ke dapur mencari wadah. Hihi iya, yang diambilnya adalah wadah makanan, sisa kemasan margarin. Wadah berupa kotak kuning yang tutupnya telah tanggal itu diberikan A alas yang merupakan kain potongan dari bedongnya saat bayi dulu. Sekarang sudah menjadi lap, bisa dibilang tisu yang kami cuci-kering-pakai berulang kali.

Dalam bayangannya, A memberikan alas tidur yang hangat untuk Lalu Kluk, sampai hari kematiannya nanti.

Kali ini, A ingat benar harus membawanya masuk ke dalam rumah, setiap hari. Karena pengalaman sebelumnya, mengajarkannya, bahwa meninggalkan sahabat bersayapnya di teras sepanjang malam, bukan merupakan pilihan yang aman. Pendahulunya sudah hilang digondol predator saat teledor meninggalkannya di luar rumah. Ia tidak ingin hal serupa kembali terjadi.

Pagi

Pagi itu, Lalu Kluk sudah tidak bernyawa. Kami tahu dari wadahnya yang dipenuhi kawanan semut kecil. Berbeda dengan pengamatan kupu-kupu sebelumnya, Lalu Kluk tidak mengalami sayap dan kaki yang patah sedikit demi sedikit, sampai akhirnya berhenti bergerak dan seluruh bagian tubuh yang tersisa mengering. Lalu Kluk yang masih aktif sampai akhir hidupnya sama sekali tidak mengirimkan sinyal kematian. Entah dia yang belum siap, atau kami yang belum siap ditinggalkannya. Lalu Kluk masih terbang ke sana kemari, bahkan di dalam kendaraan sekali pun, ia berpindah dari kursi belakang ke kursi depan. Kami berkelakar ia mau mengintip jalanan dari dekat kursi si Papa saat menyetir.

Lalu Kluk yang menolak menyerah begitu saja pada kematian, seolah memilih caranya untuk kami kenang berbeda dari kupu-kupu lain yang pernah menyentuh hidup kami.

Kami menunggu sampai A bangun untuk memberikannya waktu melihat wadah Lalu Kluk yang telah bersemut itu.

Saat A terjaga pagi itu, ia hanya butuh waktu untuk memastikan kawannya itu telah benar-benar pergi. Kemudian memutuskan untuk menguburnya agak siang nanti.

Siang

Siang hari itu, kami hendak berangkat ke rumah orangtua. Sebelum pergi, A ingat tentang Lalu Kluk. Ia memutuskan untuk menguburkannya.

Saya pikir, A hanya akan meletakkannya di atas tanah, seperti kupu-kupu lain. Atau setidaknya mengumpulkan daun kering untuk menutup jasadnya. Saya salah. A telah memutuskan untuk melakukan prosesi pemakaman untuk Lalu Kluk.

Saya yang sedang berkemas memastikan list bawaan kami sudah lengkap mendapat panggilan dari A. Ia sibuk mengumumkan berita pemakaman di hari yang basah setelah hujan turun sepagian tadi.

A mengangkat sekop dan mulai menggali. Melaporkan dengan detil kedalaman galian. Lalu kami membicarakan kedalaman yang layak untuk jasad serangga itu, sebagai bandingannya, kami juga mendiskusikan kebutuhan luasan makam untuk jasad manusia.

Saya betul-betul tidak menyangka tindakan A selanjutnya saat penguburan jenazah Lalu Kluk telah selesai. Ia mencari batu yang bisa dituliskannya. Saya hanya mengamatinya dari jarak yang memungkinkan untuk kenyamanan geraknya.

Sesekali ia bertanya susunan huruf-huruf yang akan dibubuhkannya di atas batu. Saya membaca lamat-lamat, A menuliskan kata: kupu-kupu. Setelahnya, ia tersenyum dan menghambur ke pemakaman serangga itu.

Sore

Di perjalanan, sore itu, saya bertanya pada A, fungsi batu yang bertuliskan kupu-kupu itu. Menurutnya, itu adalah batu nisan. Alangkah terperanjatnya saya dan si Papa. Karena sepanjang yang kami ingat, A belum pernah kami ajak lagi ke pemakaman leluhur maupun kerabat lainnya. Pernah, sewaktu ia lebih kecil, kami pernah berziarah.

Katanya, ia hanya ingat nisan, entah dari (buku) cerita atau dari cerita-cerita kami, atau dari ingatan lepas-lepas. Kepo ingin saya teruskan pertanyaan lebih lanjut, karena saya masih mendapat jawaban yang belum benar-benar jelas.

Tetapi rasanya perlu diingat, seperti juga cerita-cerita lain, ada yang bisa selesai, solved. Ada juga misteri kehidupan yang gak melulu happy ending. Bahkan tidak pernah punya ending. Namanya juga hidup. Karena sedang dijalani. Sedang dilakoni. Belum berakhir. Kadang hanya potongan-potongan peristiwa yang terangkai dari pecahan yang kita punya saat itu. Saat potongan lain datang, nanti, bisa jadi persepsi kita sudah berbeda lagi.

Malam

Saat malam tiba, sebagai night routine untuk A, kami sudah punya list bebacaan sebelum tidur. Yang sudah kami sepakati bukan hanya sebentuk hafalan, tetapi dialog, cara kami berkomunikasi dan meyakini ada kekuatan lebih besar yang selalu mencintai dan melindungi kami. Bahkan saat kami tertidur. Dalam tidur sesaat di dunia. Juga tidur panjang menunggu hari paling akhir. Dalam fase penguraian. Dekomposisi pada saatnya. Karena mungkin yang kita pikirkan seringkali complicated. Njlimet. Rumit. Padahal, kenyataannya mereka yang bisa menjelaskan kerumitan dengan bahasa paling sederhana, adalah mereka yang paham benar apa-apa yang dicari dan dipertanyakan. Seperti juga A yang menjelaskan kepada kami di penghujung malam, bahwa batu yang disematkannya di atas kuburan Lalu Kluk bukan nisan. Batu bertulisan kupu-kupu itu hanya dimaksudkannya sebagai tanda, ada kupu-kupu yang terkubur di sana.


Leave a comment