Waktu Indonesia Bagian Ikan Asin


Naik Turun Telur

Iya, iya, harga beras, telur dan bahan pangan lainnya sedang merangkak naik, kalau gak mau dibilang meroket ya. Padahal-padahal, telur ini dulunya sempat hits jadi mode makanan yang terjangkau untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Bandingannya dengan harga unggas, ikan dan juga hewan berkaki empat ya.

Waktu bergeser posisi dari ibu kota ke agak pinggir, kami bahagia sekali menemukan tukang jualan telur yang harganya sangat bersahabat. Saking sahabatannya sama tukang telur, kami tentu saja semakin sok akrab dengan belanja telur pakai panci dengan maksud menghindari kemasan sekali pakai berupa karton telur.

Memperlakukan telur sebagai cemilan, pada waktu itu, tidak terlihat sombong, sebagaimana pada waktu-waktu sebelumnya telur telah menjadi cheat sheet buat banyak keluarga untuk lauk mati gaya. Hanya saja, agak tidak biasa untuk mengudap telur rebus di kala lapar tapi belum lapar-lapar amat. Yaa, daripada yang lain kan?

Olahan telur di rumah kami memang gak jauh dari ceplok, orak-orik, rebus dan sup, dengan variasi tingkat kematangan yang beda invidu bisa beda lagi. Mencatat kenangan baik dan buruk tentang telur. Mampir ke Cukup Sulit Menceritakannya  di Lentera Apps ya untuk mebuka lembaran suram saya perkara telur.

Tahu Tempe Penyelamat

Saya dan si Papa setuju pandangan kami berubah setelah menikah, tentang banyak hal, di antaranya perkara tahu dan tempe. Si Papa terutama pada tempe. Bahwa tempe adalah makanan gak gaya. Sementara saya, cinta mati sama tempe orek baik yang versi basah maupun versi kering.

Seiring perjalanan untuk melihat dengan kacamata yang berbeda, tempe gak lagi dipandang sebelah mata. Tentang perannya sebagai sumber protein nabati and all the good stuff. Ditambah dengan cerita dramatis dari kerabat yang menyeberang ke luar negeri tentang mahalnya harga tempe. Sampai pada tahapan: tidak logis. Tetapi karena tempe goreng segitu ngangeninnya, ya dijabanin juga.

Saking naiknya kasta tempe, kami sampai ngulik ide membuat tempe sendiri. Awalnya cuma untuk meneruskan informasi ke adik ipar bagaimana cara mudah membuat tempe rumahan. Karena suaminya, adik saya, suka banget melipir ke warung makan Indonesia untuk jajan tempe. Tapi, lama-lama jadi penasaran sendiri. Eh gak sendiri sih, berdua sama si Papa. Kenaikan derajat tempe ini dibuktikan dengan belanja tempe kami pada suatu ketika di ambang tidka logis, beli tempe sampai 2 lonjor, gara-gara kalau beli satu kebangetan cepet habisnya.

Pada suatu era, bermunculanlah lokal artisan tempe. Tempe fancy yang pakai bunga telang, kacang selain kedelai dan kreasi lainnya. Namun yang membuat kami penasaran justru tempe yang biasa saja. Jadilah kami rela jalan kaki menyusuri sekitar tempat tinggal untuk menemukan tempe produksi rumahan. Hasilnya mengecewakan. Tempat produksi tempe yang kami pikir cukup aktif, ternyata mirip gudang tua terbengkalai yang hidup segan mati tak mau. Tadinya bermaksud mengajak A melihat dari dekat gagal deh. Karena gudang itu seperti tidak ada kehidupan di dalamnnya, bahkan orang untuk kami tanyai. Belum jodoh mungkin.

Semenjak belajar mengurangi sampah kemasan, tahu yang kami pilih selalu tahu cina yang dibungkus dengan kain putih. Maka, niat kami belanja menggunakan wadah juga diapresiasi segitunya sama penjual sayur. Menurut mereka, kalau semua orang melakukan hal yang sama, enak di mereka tidak harus sedia plastik. Kalau sedang kehabisan di warung sayur, kami membeli tahu di penjual tahu keliling yang menjual tahu putih, tahu kuning dan tahu coklat dengan harga lima ribuan per sepuluh potong. Good deal! Terlebih, gak plastik-an. Yay, saya berasa menang banyak.

Aroma Londo Lactobasilus

Kadang, saya berasa waktu sekolah dulu sering bengong sampai baru denger istilah laktobasilus dari iklan minuman probiotik. Sampai nemu lagi Lactobasilus di buku anak balita. Salah satu bahan pangan yang mengandung lactobasilus ini adalah kimci. Sayuran fermentasi yang merupakan makanan khas korea. Ada temennya lagi dari benua lain, sauerkraut.

Karena dulu bukan anak yang suka makan sayur, tau kan anak-anak generasi Chiki, saya gak begitu pusing untuk menyentuh apa lagi mencoba mana kala ada secimit di piring saji. Paling banter saya makan acar wortelnya Hokben. Ahahha!

Waktu tahu fungsi makanan fermentasi yang merupakan sumber bakteri baik ini, kami penasaran, masa gak ada sih sumber pangan lokalnya. Ternyata oh ternyata, ada. Dari mulai tauco, acar, oncom, terasi dan tempe! Mungkin masih banyak lagi!

Makanan (Berpeng-)Awet

Dari buku-buku clean eating series-nya Inge Tumiwa-Bachrens, saya jadi melek sama hal-hal yang gak kita butuhkan, tapi sering kemakan. Sebut saja pewarna, penguat rasa, perisa, ekstrak dan semua yang ada nama kimianya. Dulu sih gak mikir, makan ya makan aja. Tetapi semenjak ada A dalam hidup kami, semuanya dipikirin. Jadilah obsesi saya sama makanan, setidaknya yang masuk ke dalam badan anak, makin berkembang. Setelah Clean Eating, kami terhubung dengan kehidupan zerowaste melalui buku-bukunya DK Wardhani. Dari sana, semakin lapar dan akhirnya ketemu dengan berbagai referensi yang menghubungkan makanan, pola hidup dan pilihan sumber pangan.

Kepala saya menelusuri labirin panjang mengingat pengawetan makanan bukanlah hal baru. Tetapi sebuah keniscayaan. Karena tentu saja, leluhur sudah menggunakan teknologi paling mutakhir. Asap dan  matahari untuk menjemur dan mengeringkan. Baik dengan tambahan gula dan garam atau as it is. Untuk menjaga kestabilan suplai pangan, saat surplus untuk saat musim sulit. Makanan rescue dendeng, ikan asap, Ikan asin.

Bengong

Lagi santai bengong ternyata, ada juga yang sedang rekonfigurasi, “Orang purba gak sikat gigi, Ma?”

Nah lo! Bakalan panjang kali lebar ini mah. Hari-hari ini, banyak makanan yang tidak dikenal oleh leluhur.

Padahal-padahal hakikat makan adalah menegakkan tulang punggung untuk beribadah kan?

Kalau selama ini telur, beras telah menjadi “ikan asin”, mungkin, ini saatnya untuk menemukan asin-asin lain sebagai sumber pangan.

Sudah ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog?

Bacaan lebih lanjut

Castaldo, N. (2016). The Story of Seeds: From Mendel’s Garden to Your Plate, and How There’s More of Less to Eat Around the World. HMH Books.

Louv, R. (2016). Vitamin N: The Essential Guide to A Nature-Rich Life. Atlantic Books.

Petroceany, Jade. (2023). Cukup Sulit Menceritakannya. Lentera Apps.

Tickell, J., & Mackey, J. (2017). Kiss the Ground: How the Food You Eat Can Reverse Climate Change, Heal Your Body & Ultimately Save Our World. Atria/Enliven Books.

Wilson, B. (2019). The Way We Eat Now: How the Food Revolution Has Transformed Our Lives, Our Bodies, and Our World. United States: Basic Books.

Wilson, B., & Lee, A. (2016). First Bite: How We Learn to Eat. HarperCollins Publishers Australia.


12 responses to “Waktu Indonesia Bagian Ikan Asin”

  1. Teh Jade ih mani sama atuh penyuka tempe. Segala jenis masakannya aku suka. Bahkan lagi nyoba makan langsung mentahannya. Katanya itu paling sehat. Plus dibuat kayak sandwich kasih kurma, menurut dokter Zaidul Akbar.

    Salam sehat.

    Like

    • iyaaa, toss Teh Dewi! Kami suka buat itu juga, cuma karena beli tempenya di warung agak suka deg-degan makan mentah, jadi direbus dulu di air ngegolak sebentar aja, angkat keringin baru deh buat stok pasangan cocolan sambel, madu atau kalau lagi musim ya kurma juga hihi. Belum kesampaian mau buat tempe sendiri Teh hehe. Salam sehat juga 😀

      Like

    • Yayyy semangat Teh Andin! Pelan-pelan, dikit-dikit, insyaAllah makin dicobain makin PD nanya ke abang dan ibu penjual. Dari yang malu-malu sampai malu-maluin karena belanja pakai wadah yang gak wajar-wajar amat, sekebawanya, hihi.

      Like

  2. “Tempe naik kasta” ahaha bisa aja Teh Jade nyari istilahnya.

    Betul Teh, inilah yang saya rasakan. Saat kecil, saya (dan yang segenerasi?) seakan di-brainwash bahwa tempe itu bahan makanan murah non-gizi yang gak mengkontribusi apa-apa pada otak dan tubuh manusia. Walah. Entah siapa ya yang memviralkan pikiran sesat itu.

    Seiring berjalannya waktu, dengan banyaknya studi penelitian, kita semua tahu bahwa tempe itu incredibly healty and nutritious (dan lezaaat tentunya).

    *jadi kebayang tempe goreng cocol sambel di siang bolong 🤤

    Like

  3. teh aku selalu bertanya-tanya apakah kain di tahu cina itu harusnya ga kita ambil waktu beli biar bisa dikembalikan ke produsen tahunya, atau kita ambil ya? Hahahaha

    setuju! Tempe adalah kehidupan.hahaha

    Like

  4. Di rumah lebih sering konsumsi tahu sih daripada tempe. Aku suka mati gaya kalau ngolah tempe. Goreng lagi goreng lagi. Rasanya tahu lebih bervariasi u/ jadi lauk pauk.

    Soal plastik bawa sendiri juga dari rumah, kalau mau ke tukang sayur di gang. Mayan, seenggaknya, engga nambah kresek…

    Like

  5. telur = lauk mati gaya memang nyata adanya, makanya aku agak ketar-ketir harga telur naik terus tapi kaya engga punya opsi lain jadi ya tetep stok banyak di rumah

    Like

  6. Kami suka tempe dan ikan asin. Sayangnya, tempe dan ikan asin itu barang mewah buat perantau di eropa (nggak berani klaim daerah lain). Nimatilaaaahhhh 😋

    Like

  7. Aku juga suka tempe dan telur! Selalu ada di rumah. Btw Mbak Dini (DK Wardhani) itu temen kost-ku dulu lho pas kuliah (trus kenapa hahaha), bangga sekarang dia jadi panutan di mana-mana.

    Like

Leave a comment