Adik Kucing


Suatu ketika A cerita kalau ia semalam bermimpi punya adik kucing. Iya, seorang atau lebih tepat seekor adik dalam bentuk kucing. Ini tentu bukan tanpa sebab, tetapi lebih ke ketertarikannya ke hewan berkaki empat ini yang cukup lekat hidup di dekat kami. Sedikit tambahan informasi, kami merasa belum berkemampuan untuk memelihara hewan apa pun di rumah. Termasuk kucing, yang kami tidak lagi sebut sebagai kucing liar, yakni kucing bebas. Karena mereka hidup dengan bebas. Keyakinan ini kami percaya sebagai keniscayaan bahwa alam lebih mampu memeliharanya, dibandingkan kami. Kalau pun ada yang bisa kami lakukan adalah berbagi teras rumah kami untuk shelter sementara apa bila hujan, juga berbagi makanan yang kami punya, dalam upaya selama sesedikit mungkin mengganggu ranah alam. Alasan minornya tentu juga ada. Kami gak mau kucing-kucing ini pup di area kebun umpel-umpelan kami. Area kecil di mana kami bereksperiman juga belajar hidup berdampingan dengan alam dalam skala kecil. Tempat di mana kami menanam cadangan makanan kami. Tabungan di kala makanan mungkin akan masuk ke fase sulit.

Kembali ke mimpi A, sepagian itu kami senyum-senyum membayangkan yang terjadi. Pasalnya selama ini si Papa telah cukup masif menjadi bapak angkat dari kucing-kucing betina yang meminta suaka saat musim kawin tiba dan mereka sibuk dikejar-kejar para pejantan. Beberapa cerita kami abadikan di channel podcast keluarga di sini.

Kami ngobrol tentang keseruan punya adik ini. Agak susah membayangkan ketidakseruannya tentu, karena A tidak mengalaminya sendiri.

Sampai suatu hari…

Buluk, satu dari sekian banyak kucing komplek yang berkeliaran, datang ke area dekat rumah kami. Bukan hanya sebagai turis, tetapi juga sebagai pendatang tetap. Agak membingungkan bagaimana akhirnya si Buluk, remaja betina yang biasa berkeliaran di area ruko depan komplek, memilih untuk transmigrasi ke teras rumah kami.

Sebentar, pasti kepikiran deh, kok begitu amat sih ngasih nama. Hehe ini bukan nama pemberian kami. Tapi itu yang tertera di kalung si Buluk. Blok huruf dari gelang ukuran tangan manusia yang disematkan jadi kalung kaki empat ini yang menjelaskannya. Setidaknya mengenalkan A dan si Papa pada Buluk di sesi main dan cari belalang di deretan bunga-bunga zinia dan kenikir yang menghias jalanan masuk ke komplek kami. Setelah beberapa kali bermain bersama, A dan Buluk juga si Papa jadi bestie. Kadang mereka main sirkus-sirkusan dengan atraksi si Buluk yang ngejar-ngejar daun kering, bayam kucing dan beberapa hal lain, termasuk sendal dan celana kiwir-kiwir kami. Itu kan hobi kucing yang masih dalam usia muda, ngejar semua benda yang menggelewer?

Dalam era dinasti kucing sebelumnya, Bodi adalah kucing betina yang suka mampir ke rumah. A suka sekali masak untuk Bodi, bukan hanya protein tetapi juga nasi dan sayur. Bodi suka makan hampir semua trial masak memasak A.

Sebagaimana manusia, kucing juga ternyata punya beragam karakter dan latar belakang sifat yang dibawanya. Untuk Bodi, ia adalah seekor happy eater, tetapi ia bukan pribadi yang happy buat dielus-elus. Agak frustasi sesungguhnya fakta ini buat A, karena sepanjang yang ia tahu, semua kucing suka dan bisa dielus-elus. Bahkan waktu kedatangan pertamanya ke rumah kami, Bodi sama sekali tidak suka didekati. Maka, untuk A bisa memberikan makan hasil ia jadi chef kucing, Bodi akan disiapkan makanan pada jarak yang cukup lumayan menyamankan untuknya. Terus begitu, berkali-kali sampai Bodi nyaman didekati oleh A dan hanya A seorang, bukan saya atau si Papa.

Beberapa bulan berlalu, Bodi–yang juga kucing betina–hilang rimbanya. Tak pernah datang lagi. Kami menduga ia mati, kecelakaan, atau berpindah bahkan lebih jauh mungkin dibuang orang. Tapi ternyata, kami jadi tahu ia menemukan kenyamanan di area komplek bagian lain dari area rumah kami. Bodi juga bertumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Juga percaya pada manusia lain, yang setidaknya nalurinya mengatakan kami bertiga tidak akan menyakitinya.

Buluk

Hari yang merupakan mimpi jadi kenyataan buat A seolah datang begitu saja dari langit. Di bulan Ramadhan ini, A punya adik kucing. Gak jauh-jauh, si Buluk! Anak gadis berkaki empat yang biasanya hanya teman main A di pinggiran jalan, perbatasan antara komplek perumahan dan ruko.

Begitu saja Buluk datang ke rumah dan nyaman bermain dengan A sampai sore. Gak pulang-pulang. Malah, ia betah tidur-tiduran, manjat-manjat segala hal yang ada di teras kami.

Untuk kali pertama, A merasakan konflik kakak versus adik. Siang itu, A baru saja membereskan rak sendalnya dengan urutan dan kategori yang dinyatakan penting. Mana sendal yang harusya berada di bawah, mana yang harus terletak paling atas. Easiest to grab! Juga printilan lain untuk A berkegiatan di kebun umpel-umpelan. Gelas-gelas kecil, wadah, penyiram tanaman berbentuk gajah, sekop juga penutup area sendal yang dibuatnya dari sisa kemasan nasi box. Iya, anak ini memang segala dimanfaatkan. Di luar dugaan, Buluk manjat sampai ke atas tumpukan dan memporak-porandakan tumpukan itu. Gelas berisi air minum yang tidak habis diminum Buluk tidak berapa lama sebelumnya, tumpah bagaikan air bah di atas rak sendal yang merupakan bekas wadah parsel buah yang kami minta dari rumah Enin, mamanya si Papa. Tentu saja A gondok! Ia teriak dan nangis kesel pada kelakukan adik kucingnya itu.

Setelah reda semua big feelingnya, saya cerita kira-kira begitulah perasaan kakak-kakak sedunia ini kalau adik kecilnya tau-tau nongol dan mau ikutan main. Lagi seru-seru main balok, eh sekilas doang bangunan buatan kakak gubrak seketika. Si Papa cuma senyam-senyum sambil membenarkan scene tadi ya kurang lebih mirip cerita saya. Hanya saja, adik yang dimaksud ini adalah adik kucing yang punya bahasa dan kelakuan beda lagi dibandingkan adik dari jenis manusia.

Namanya juga kakak-adik, habis berantem ya main lagi. Begitu pula A dan Buluk, gerung-gerung kesel, bete, habis itu ya kejar-kejaran lagi. Malah malam-malam mereka jalan bareng keliling komplek bagi-bagi surplus makanan supaya bukan hanya Buluk saja yang menikmati makanan malam itu. Gara-gara kami sedang masak ungkep ayam dan si Papa bawa pulang bagian pantat ayam dalam jumlah agak banyak, yang sudah diniatkan untuk makanan para kaki empat.

Malam itu, saya meleleh haru biru. Anak gadis kami sudah menjelma jadi kakak-kakak. Yang mau berbagi dengan adik-adik kucingnya. Ia hanya jalan kaki berdua Buluk untuk mencari kucing lain. Saya hanya memperhatikan dari depan pintu rumah, petualangan kecilnya malam itu.

Kiti dan Kata

Sudah berapa malam Buluk tidur di kursi teras kami. Setiap pagi, pemandangan kami adalah si Buluk yang sedang stretching kalau kami buka pintu. Bahkan saat ia sedang tidak di depan rumah, ia akan lari atau setidaknya menengok ke arah pintu rumah kami yang tidak berpagar. Ia hafal benar suara krowek pintu rumah kami. Hihi akibat engselnya kurang diminyaki.

Ada tentu saat kami keki berat, kalau si Buluk mau curi-curi masuk ke dalam rumah. Yaa namanya juga usaha, ya kan, Luk? Karena sebelumnya mungkin ia dibolehkan eksplorasi area dalam ruko tempat di mana ia hidup. Namun, aturan rumah kami, tidak ada hewan berkaki empat ini yang bisa masuk. Karena kami bertiga suka makan lesehan persis di area ruang tengah rumah, tempat yang letaknya di depan pintu masuk. Jadi kalau sampai kucing-kucing masuk dan bersantai di sana, ya gak aman buat tempat makan dan gogoleran kami.

Hari itu, setelah jalan sore, A menemukan kucing lain yang saya pikir Buluk yang sedang santai di bawah mobil tetanga. Ternyata ia kucing lain. A mengkonfirmasi fakta ini setelah memperlihatkan tidak adanya kalung di leher kucing ini.

A memboyongnya ke rumah. Karena kebetulan kami sedang punya makanan. Kucing kedua ini ukurannya lebih kecil dari Buluk, tetapi sama aktifnya. Pertama-tama yang dilakukan A adalah mendekatkan keduanya. Agak mirip nyuruh kenalan kali ya. Keduanya saling mengendus, sehabis itu mereka gelut. Kejar-kejaran. Balapan manjat pohon. Seru lah pokoknya. A menamakannya si Kiti. Berdua di kebun umpel-umpelan kami, Buluk dan Kiti seperti ada di Dunia Fantasi. Gelosoran naik-turun pohon, nyumput-nyumputan di daun kering, ngepot kanan-kiri dan berbagai atraksi lainnya.

Tak lama berselang si Papa pulang dari belanja dari warung sayur. Bukan hanya sekedar bawa sayur, si Papa malah bawa anak kucing lagi dari lapak makanan yang sedang tutup selama bulan Ramadhan. Si Papa ngerasa kasian katanya karena anak kucing ini pelangak-pelongok sendirian ngeong-ngeong. Khawatirnya dibuang orang ke sana tanpa kehadiran mamanya. Duh kesian bener! Jadilah, kucing lebih kecil dari si Kiti ini dibawa pulang sama si Papa. A menyematkan nama, Kata. Adik paling kecil.

Begitu saja, dalam seminggu anak kami, dari cuma satu jadi dua terus tiga terus empat. Antara debar-debar mikirin potty training anak-anak ini lah, makanannya lah, dan hal-hal lain yang dikhawatirkan ibu-ibu pada umumnya. Paling penting, siapa yang ngurus euy?

Tinggal dua

Hari itu, kami biarkan A punya kebahagiaan mengurus adik-adiknya. Menemukan metoda pemberian makana untuk anak-anak kucing pada usia berbeda dan pola-pola lainnya. Meskipun saat magrib menjelang mereka menghilang entah ke mana lagi. Tersisa hanya si Buluk.

Keesokan paginya, hanya tertinggal si Buluk. Anak kami kembali lagi dari satu ke dua, bukan lagi tiga atau empat.

Hari-hari setelahnya A dan adik kucingnya ini belajar saling menerima. Mulai dari bercanda yang pakai cakar-cakaran, sampai perbedaan cara pandang dan komunikasi yang berbeda antar dua anak-anak. Dua mamalia.

Apa kabar kesabaran kami sebagai mama papa? Ahaha tentu saja perlu terus dalam state of mind yang zen. Karena ada teriakan satu dari A, satu dari si kucing. Satu mau masuk rumah, satu teriak minta jagain pintu karena pintu mau dibuka lebar tetapi harus ada yang jaga biar gak ada yang nyelonong. Jga konflik lain di antaranya. Welcoming the new era!


One response to “Adik Kucing”

Leave a comment