Benar, Benar, (Seolah) Tidak Berhubungan


Panas, panas, panas

Waktu si Papa ngasih kata-kata sulit seperti aklimatisasi, saya cuma mesem-mesem saja. Antara ngerti dan ho-oh, ho-oh dulu. Ceritanya saya keinget sebuah teori belajar vocabulary dalam bahasa inggris untuk memahami konteks dalam kalimat dulu, baru cek ulang ke kamus. Jadi gak perlu bolak-balik cek kata per kata.

Pikiran saya melayang ke perbedaan langit dan bumi kami sewaktu baru menikah. Si Papa yang terbiasa hidup di wilayah pegungungan Bandung Barat bisa keringetan meleleh-leleh dalam arti sebenarnya ya, bukan meleleh menye-menye, gara-gara kepanasan di belantara udara ibu kota. Si Papa bisa buka kulkas sok-sok ngintip isi kulkas, padahal numpang ngadem. Benar saja, waktu di serangkaian tes kesehatan kami jalani, si Papa terdeteksi defisit Vitamin D. Kalau dipikir-pikir gimana enggak, sebagai freelancer yang bisa punya keleluasaan Work from Anywhere (WFA), banyaknya terpapar bekerja di dalam ruangan.

Lain lagi ceritanya dari saya, si Manusia Gurun, saya bersahabat erat dengan panas. Dari dulu, saya suka sekali aktifitas di luar ruangan dari serangkaian kegiatan pramuka, paskibra, basket, bola, atau sekedar duduk panas-panasan sambil bengong dan mikir. Ehem, yang terakhir banyak saya lakukan kalau ngambek pas kecil.

Dari serangkaian hewan yang didomestikasi, saya memperhatikan kucing dan anjing punya kebiasaan yang sama dengan anak kecil yang nungguin buka puasa sambil mendinginkan badan dengan tiduran di lantai. Mirip kura-kura rebahan, area dada nempel plek-plek ke lantai. Adeeem.

Dingin, dingin, dingin

Tinggal di Bandung selama kuliah membuat saya punya alasan untuk gak mandi pagi, eeehhh,  atau opsi lain mandi air hangat pagi-pagi. Tapiii, fakta menyatakan bahwasanya alergi saya terhadap udara dingin justru malah dapat saya hadapi lebih baik dengan mandi air dingin. Air yang sesuai suhu udara sekitar. Iseng saya hitung frekuensi bersin yang saya alami sesudah mandi saat menggunakan air dingin dan air panas. Kejutan! Ternyata mandi air dingin meredam bersin puluhan kali yang biasa saya alami menjadi hanya sekadarnya saja.  

Saat boyongan pindah ke rumah kami sendiri di tahun 2019, kegiatan menyiram tanaman secimit yang ada di kebun perlu pakai banyak trik. Pasalnya, kami hanya punya selang pendek yang perlu diluweskan untuk menyiram bukan hanya kebun umpel-umpelan kami, tetapi juga lahan komunal yang berbatasan dengan tanah kami.

Saat itu, saya ingat benar tanaman di ujung hook tidak bisa kena semburan air dari selang. Jikalau bisa  harus mengatur posisi yang pas agar selang gak tiba-tiba lepas dari keran. Selain itu, debit air yang kecil juga menjadi tantangan tersendiri. Kadang kami malah hanya menyiram males-malesan pakai ember terus diciduk sedikit demi sedikit pakai gelas mainan anak kami. Ehh, metode ini malah banyak peminat, anak kami dan anak-anak tetangga.

Di tahun 2023, maju beberapa langkah setelah kami berkebun dan mengompos agak serius, mengganti beberapa produk pembersih dengan buatan rumah; air dari selang dan keran yang sama malah mancur, menyebar jauh, jarang macet dan jarang kering. Di bawah tanah sana, seolah ada galon besar yang disimpan di dalam akar-akar tumbuhan yang kini menyebar menutupi seluruh permukaan kebun dalam bentuk pohon, semak dan rerumputan yang tumbuh dengan sendirinya secara sengaja ataupun tidak. Kami seperti punya bala bantuan dari makhluk hidup lain yang ikut menanam di tanah yang kami tinggali. A, putri kami, dulu suka sekali menabur-naburkan biji bayam, biji kenikir dan biji-bijian apa pun yang ia temui sepanjang jalan untuk di tanam di kebun. Jangan bayangkan menanam dengan lubang tiap sekian jarak dari satu tanaman ke tanaman lain. Oh tidak sama sekali. Aksi kecil ini kemudian kami sengaja tiru juga. Diam-diam, seiring pepohonan di kebun kami tambah rimbun, hewan bersayap siang dan malam mulai suka bermain. Jadilah kami sering dikasih oleh-oleh berbagai biji. Kelengkeng adalah salah satu di antara yang bertahan hingga kini.

Kebun kami kemudian bertransformasi menjadi hutan. Saat pepohonan semakin tinggi dan rimbun, sinar matahari yang masuk ikut mempengaruhi vegetasi dan hewan-hewan yang datang dan pergi. Jamur dalam berbagai bentuk, kami nikmati. Namun, karena kurang ilmu, mau dimakan agak-agak takut kalau ternyata bukan jenis yang aman untuk dikonsumsi. Efek samping lainnya sih, di depan halaman kami jadi tempat neduh dan ngadem yang enakeun.

Hangat, hangat, hangat

Saya ingat benar 2020 saat covid datang menghantam, kami malah memacu diri untuk hidup lebih sehat. Efek sampingnya si Papa turun 18 kilogram dan saya kembali ke berat badan saat kuliah sehabis melahirkan dan menyusui yang gak turun-turun juga. Turunannya, kami sampai sempat-sempatnya kehilangan cincin pernikahan berkali-kali karena lingkar jari-jari kamipun menyusut. Peringatan beruntun untuk hidup sadar.

Pandemi juga yang mengajarkan kami pelan-pelan untuk audit sampah kami. Menyadari apa saja yang kami konsumsi. Mempertanyakan lagi perlukah kami mengkonsumsinya. Sehingga langkah berikutnya untuk memilah sampah menjadi lebih mudah. Sedikit demi sedikit kami juga mengganti produk yang lebih sejalan, atau bilamana memungkinkan dengan produk buatan sendiri. Entahlah ini berhubungan langsung atau tidak, dengan membuat closed loop (makan-kompos-tanam-panen-masak-kembali lagi ke makan) frekuensi sakit tahunan kami sekeluarga menurun. Penyakit kami menukik ke penyakit-penyakit ringan dan kadang memalukan seperti kutu air, ahahaha.

Saya, tidak suka minum obat, juga vitamin. Buat saya, keduanya penderitaan. Ternyata, hal ini 11-12 juga untuk si Papa juga A. Maka remedy kami semuanya berkisar antara empon-empon, kelapa muda, potongan bawang di kamar sebagai air purifier, baluran bawang merah, sambal kunyit, air jahe, sop ayam, plus buah dan sayur sekebon. Daaan eksposure sinar matahari dalam gerak, bukan hanya berjemur statis, entah dalam bentuk ngebonstretching, meramban juga jalan kaki.

Kode-kode semesta

Pada sebuah episode kelas permakultur yang diikuti si Papa, saya nguping! Salah satu hal yang saya unggul. Disebutkan bahwa yang kita kenal sebagai hama, ternyata adalah sebuah kode ketidakseimbangan. Karena begitulah cara kerja alam. Saya langsung mikir iya juga ya, ada saat kebun kami banjir ulat bulu, kutu putih, siput, belalang, kepik dan macem-macem lagi. Tapi bukan untuk selamanya. Sama seperti perut kita yang terlalu banyak menelan makanan pedas, pastilah sistem percernaan kita protes keras, demi membuat zat yang berlebihan!

Dahulu saya menelan bulat-bulat wacana kawanan katak yang sedang memanggil hujan. Tapi saya kemudian punya titik-titik yang saya hubungkan antara penggunaan zat kimia dengan kenyataan bahwa kita mempersulit diri sendiri. Gampangnya, dengan biasa minum antibiotik dosis ringan, lama kelamaan badan akan baal dan minta dosisnya dinaikkan ke yang lebih keras lagi. Begitu pula nyamuk, kecoak dan hewan yang dianggap mengganggu saat insektisida diberikan sebagai jalan keluar. Setelah tahu penanganan biologis, penolong kami dari serangan kecoak, adalah kalajengking.

Seperti pribahasa lain ladang lain belalang saya jadi punya pemahaman yang agak sedikit lebih gamblang dari infografis di buku-buku teks georafi dulu. Area yang punya beda kontur, beda bentang alam, beda paparan sinar matahari, hujan, angin artinya punya bentukan populasi dan jenis interaksi yang berbeda.

Sekarang, saya percaya bentukan alam yang seringkali disebut bencana—banjir, kekeringan, angin ribut, gunung meletus, tsunami, gempa bumi—oleh manusia, dalam kacamata yang lebih makro sesungguhnya adalah upaya bumi mencari titik keseimbangan.

Berbeda-beda

Sepanjang tahun meskipun berada di tempat yang sama, kita akan mengalami perubahan musim. Karenanya rolling,pergiliran jenis makanan merupakan kebutuhan untuk bertahan di musim yang berbeda. Nutrisi dan asupan yang dibutuhkan tumbuh di dalam perimeter terdekat dari organisme yang hidup di sekitarnya. 

Setelah beberapa kali menyelami kalimat ini dengan cara yang berbeda pula, saya baru paham mengapa pangan lokal adalah yang terbaik.

Di luar, bukan di dalam

Dari kecil sampai menikah saya mengalami jadi punya binatang peliharaan di rumah, baik di rumah orangtua maupun mertua. Meskipun pada kenyataannya, bukan benar-benar saya yang merawatnya. Mulai dari anjing, kucing, ikan, burung, ayam, kelinci.

Lucu aja, mungkin itu alasan awal atau yang paling akhir untuk tetap mempertahankan hewan-hewan ini ada di rumah.

Tetapi, saya sampai ke titik yakin bahwa tempat mereka bukan di dalam tetapi di luar kandang. Mereka sudah punya rumah yang sesungguhnya. Di alam.

Di sebuah petualangan di masa senjanya, ibu saya dipertemukan dengan orang yang menangis hatinya sewaktu merapat di Pulau Komodo. Ia merasakan sebuah hal yang tidak tepat menurut nuraninya untuk menjadikan komodo sebagai sebuah tontonan trekking di sepanjang pulau itu. Waktu mendengar cerita ibu saya dulu, saya berpikir, ada ya individu yang benar-benar bisa merasa seperti itu.

Banyak waktu setelahnya, saya merenungkan komodo, teman seperjalanan ibu saya, ibu saya, saya, A, yang sama-sama penghuni bumi. Bahwa semua penghuni perlu berperan menjaga rumah. Bukan hanya jadi penonton.

Leyeh-leyeh

Saya tidak pernah tahu yang kami lakukan di secuil kebun ternyata telah dipraktikkan oleh Masanobu Fukuoka, berkebun dengan cara radikal, Do nothing.

Suatu ketika algoritma Instagram menyampaikan saya pada sebuah reels yang memperlihatkan bahwa seonggok pohon mati yang  ditebang telah dijaga oleh seisi hutan dengan kode dari miselium.

Ingat pilihan ganda yang menyatakan jawaban A benar dan jawaban B juga benar tetapi tidak berhubungan? Namun ternyata semuanya adalah rangkaian titik.

April ini, Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog sungguh-sungguh tidak bisa membuat saya leyeh-leyeh.


6 responses to “Benar, Benar, (Seolah) Tidak Berhubungan”

  1. Artikel teh Jade jadi mengingatkan aku sama Kaka yang gak mau taman depan rumah di kasih grass block. Dia mau tetap tanah dengan segala tumbuhannya. Tampak rudet alias tidak rapi, tapi itu sumbangan kecil bagi alam agar tetap seimbang.
    Perumahan di Bandung banyak yang mengikis habis daerah resapan. Sedih dan miris, plus sudah banyak longsor juga akibat ulah manusia.

    Like

  2. teh Jade.. keren banget konsep close loopnya. Circular economy versi rumah tangga.. dan baru tahu, tanda-tanda alam seperti hama.. itu karena ada yang tidak beres, seperti sakit perut, aku suka dengan analoginya.

    Like

  3. suka banget teh! Saya sependapat dgn tulisan teteh ini. Ntah kenapa saya jg merasa manusia kalau mau bahagia ya mesti bonding lagi ke alam.

    Ttg bahan kimia dan hama. Jadi ilmu baru ni. Sy sepakat juga. Kalau penggunaan bahan kimia yg ga ramah lingkungan itu cara manusia tergesa2 pdhl ada cara yg bijak. Spt misalnya utk menghalangi nyamuk pakai tanaman lavender.

    Doakan ya teh. Saya jg sedang menyusun impian punya kebun di halaman rumah dan menanam pohon.

    me.sistha

    Like

Leave a comment