Investasi si Pelit, eh Irit, eh Efisien: Kembali ke Tanah


Rumah saya sebenarnya tidak terlalu jauh dari sekolah saat TK-SD-SMP dulu. Bisa ditempuh dengan jalan kaki sambil ngobrol dan bertukar jokes receh dengan teman-teman juga kecengan jaman dahulu kala, huhuy. Tak jarang, rumah saya pun jadi tempat teman-teman yang rumahnya lebih jauh untuk numpang minum sebelum berjibaku dalam angkutan kota yang mengantar mereka ke rumah masing-masing.

Saya adalah anak yang terbiasa bawa bekal sedari dulu sampai sekarang meskipun sudah jadi ibu-ibu. Alasannya adalah: kebiasaan. Sesungguhnya di balik itu, saya punya motif lain, buat ditabung. Ibu saya sering gemas kalau melihat saya pulang sekolah dan langsung minum bergelas-gelas air putih seperti orang yang benar-benar kehausan. Iya benar, saya suka bawa bekal air minum juga. Tetapi, pergerakan dengan mode anak aktif dari mulai ikut ekstrakurikuler pramuka, paskibra, OSIS dan sedikit basket, meskipun bukan jalur olahragawan, saya jadi gampang kehausan. Mengetahui fakta ini, ibu saya sering menyelipkan uang jajan tambahan. Saya tahu, itu sekedar jaring pengaman kedua saat bekal saya habis dan saya belum sampai rumah untuk memenuhi lapar dan haus.

Tak jarang, saya kena omel, “Kenapa gak beli teh botol atau minum sih di sekolah?” atau “Kalau capek, kenapa pulangnya gak naik becak sih?”

Hehe, kala itu masih ada becak yang hilir mudik di antara area rumah dan sekolah. Tetapi saya memilih jalan kaki kalau ketinggalan mobil antar jemput karena harus ikut kegiatan ekstrakurikuler (baca: tempat saya nongkrong, main gak pulang-pulang). Jawabannya lagi-lagi simpel, buat ditabung.

Dahulu, rasanya saya belum diperkenalkan alasan yang cukup mumpuni untuk menabung. Selain hal klise “untuk beli yang kita inginkan” atau “kalau sewaktu-waktu sakit”. Buat saya kecil keduanya sama tidak logisnya, karena dalam benak saya, dua-duanya adalah hal yang akan ditanggung orangtua saya. Sementara tabungan adalah hal yang saya usahakan dengan menahan lapar, haus dan lelah berkeringat jalan kaki ke rumah. Dari masa ke masa, saya hanya menabung dan mengumpulkan saja, termasuk uang yang diberikan oleh om dan tante saat waktu lebaran tiba. Plung! Mereka masuk ke dalam rekening yang dibuatkan atas nama ibu saya dengan QQ nama saya. Saya ingat ini adalah cara menabung dengan modal KTP ibu saya, waktu itu.

Saya banyak menghabiskan waktu dengan buku. Dahulu, telepon apalagi internet adalah barang mahal dan langka. Saya menamatkan Rich Dad Poor Dad kala SMP sebagai buku berbahasa inggris pertama yang saya tamatkan. Begitu juga dengan Perempuan di Titik Nol sebagai buku pertama yang mengisyaratkan ada lho kehidupan kayak begini di luar keseharian yang saya paham. Berat amat bacaan anak SMP? Oh iya! Lebih berat lagi dengan dahulu kala, saya tidak punya teman dan komunitas berbagi tentang bacaan saya. Saya hidup di tengah keluarga yang menunjang minat baca, namun seringkali tidak meneruskannya ke diskusi dan mengobrolkannya. Banyaknya komentar sepintas lalu atau penilaian buku tertentu yang merupakan bacaan orang dewasa.

Entah dari titik mana, saya bisa berpikir dan bercita-cita uang tabungan saya itu mau dibelikan tanah. Iya sebidang tanah. Jawaban ini sih sering membuat sekitar saya ketawa cekikikan dengan pandangan, “Euleuh anak kecil tahu apa mau beli tanah segala, jajan di warung aja sana!” Tetapi saya benar-benar serius mau beli tanah karena Robert T Kiyosaki sudah mengajari saya perbedaan liability dan asset. Seperti anak aktif lainnya yang hobi, ketertarikan dan maunya banyak, saya punya koleksi beragam. Dari mulai perangko karena saya punya berbagai pintu penambah koleksi: warisan tante, kegemaran saya menulis surat kepada sahabat pena, keberanian saya (kadang dibantu ibu saya) yang sering berpesan pada kerabat yang pergi ke luar negeri untuk mengirimkan kartu pos dari negara tujuan saja sebagai oleh-oleh alih-alih membawakan macam-macam barang tak berguna, juga sekretaris di kantor orangtua saya yang kerap menyimpankan berbagai perangko unik dan perangko tidak unik untuk saya. Selain itu, saya juga mengoleksi barang-barang unik, kalau tak mau dibilang aneh ya, seperti kartu pos dari berbagai daerah baik sudah ditulisi maupun dalam bentuk kosong (saya lebih suka yang gratis), korek api (dengan pentol berwarna-warni dari berbagai hotel atau penginapan oleh-oleh dari siapapun yang bisa saya titipi); satu set block note, kertas surat, pulpen, pensil (yang semuanya disponsori oleh hotel); puzzle berbagai ukuran (iya semakin banyak dan semakin kecil-kecil, semakin asyik); pensil dan penghapus harum; kertas loose leaf; kertas surat harum yang bukan dari hotel; dan buku, banyak buku.

Puzzle yang masih disayang meskipun punya kepingan hilang

Saya sudah lupa perihal tanah ini saat beranjak dewasa. Banyak hal pelik yang rasanya harus saya putuskan, sampai hal-hal yang saya anggap penting menemani saya bertumbuh. Buku! Satu hal yang saya ingat, saya bersyukur menikah dengan pasangan yang juga suka buku. Seperti sambil menyelam minum air, ahahah, buku saya seketika tambah banyak waktu ijab kabul diucapkan, selain saya mintanya memang spesifik buku-buku tertentu dan benda-benda lain yang saya yakin memang saya pakai dan suka untuk prasyarat (iya, saya anak aneh).

Buku Referensi untuk Anak Pinjaman dari Perpustakaan yang Menyambungkan Semua Fakta secara Sederhana

Ibu mertua saya yang melihat anaknya geret satu koper baju plus tiga kardus buku ke Jakarta cuma geleng-geleng sambil berpikir nanti kalau kami punya rumah sendiri mungkin furniturnya terbuat dari buku-buku.

Buku, buku, buku

Prasangka ibu mertua memang gak salah, hanya ada tambahan sedikit, buku anak kami yang sekarang juga ikut memenuhi belantara rumah. Diaminkan oleh ibu saya yang sering komentar kalau mampir, “Kakak ini duduknya gimana? Buku di mana-mana gini!”

Tenang Membaca di Tumpukan Buku

Ternyata buku juga yang menghantarkan kami perubahan yang kami jalani hingga sekarang ini. Termasuk mimpi lama, tanah!

Heh kok bisa belok ke tanah lagi?

Setelah Diskusi Panjang Akhirnya Memutuskan Mengadopsi Pohon Pisang
Sumringah Panen Pisang

Begini ceritanya, beberapa buku mengarahkan saya, kemudian kami ke dalam perjalanan jauh ke bawah kaki. Iya ke tanah. Menemui makhluk-makhluk yang terus hidup memelihara tanah. Buku anak juga buku yang kami baca.

Black Soldier Fly yang Baru Kami Tahu Bentuknya juga Peranannya dalam Mengompos
Pundi-pundi hasil investasi, kunyit

Seperti didukung oleh semesta, tahun lalu, kami memberanikan diri untuk ikut dalam kegiatan yang diinisiasi oleh sebuah komunitas bertema dapur halaman kota. Tujuannya, kami definisikan sesuai spesifikasi yang kami butuhkan di rumah: mengundang cacing ke rumah. Proposal yang kami ajukan tidak menang. Tetapi kami sudah merasa menang waktu mengusung tema ini. Keluarga cacing dan keluarga-keluarga lain memang tidak serta merta datang dengan undangan kami. Butuh waktu untuk mereka benar-benar percaya pada kode yang kami kirimkan ke dalam tanah. Tempat semuanya berawal dan kembali.

Meramban Kenikir di Fasum Komplek
Ubi si Ulat Pohon Sirsak
Panen Daun Singkong Hasil Regrow

Kini, mereka menggeliat dengan nyaman, senyaman kami membelainya. Kadang investasi bukan semata bling-bling, tetapi bisa juga pada yang tak tampak namun memberi dampak. Pada tanah.

Halo Cacing

Tulisan ini dibuat dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog https://mamahgajahngeblog.com/tantangan-blogging-mgn-oktober-2023-investasi-yang-ingin-atau-sudah-dilakukan

Bacaan lebih lanjut:

Castaldo, N. (2020). The Story of Seeds: Our Food Is in Crisis. What Will You Do to Protect It?. United States: HOUGHTON MIFFLIN.

Manurung, B. (2014). Sokola rimba. Penerbit Buku Kompas.

Pratama, Rony K. (2022). Manusia Tanpa Sekolah. Bentang Pustaka.

Tickell, J., & Mackey, J. (2017). Kiss the Ground: How the Food You Eat Can Reverse Climate Change, Heal Your Body & Ultimately Save Our World. Atria/Enliven Books.

Wardhani, D. K. (2020). Menuju Rumah Minim Sampah. Bentala Kata, Imprint RMA Group.

Wardhani, DK. (2020). Mengompos di Rumah itu Mudah. Halaman Moeka.

Wilson, B. (2019). The Way We Eat Now: How the Food Revolution Has Transformed Our Lives, Our Bodies, and Our World. United States: Basic Books.


5 responses to “Investasi si Pelit, eh Irit, eh Efisien: Kembali ke Tanah”

    • Terima kasih sudah mampir, Teh Dewi. Itu si Gadis kecil yang punya keberanian paling besar di antara kami bertiga. Habis itu baru mama papanya ngekor, mencontohnya, MasyaAllah.

      Like

  1. Masya Allah, Teh Jade, bener-bener dah, contoh seorang Mamah panutan dalam hal pecinta alam dan perangkul lingkungan. Mampu co-existence dan berdamai dengan makhluk-makhluk di sekitar. Salut Teh Jade. Patut diteladani. 🥰
    ***
    Btw sama Teh, saya dulu juga filatelis ehehe. Koleksi perangkonya masih ada kah Teh?

    Like

Leave a comment