Melatih Kemampuan Menulis Anak dari Perkara (yang Seolah) Benar-Benar Tidak Berhubungan


Suatu ketika, saya mendapat pertanyaan, “Kapan A diajarkan membaca dan menulis?” Saya memberikan jeda pada diri saya sendiri. Kapan ya? Lalu saya tersadar dan memisahkan kegiatan membaca dan menulis karena keduanya butuh kemampuan yang berbeda. Secara tidak sadar sesungguhnya kemampuan menulis ini dibangun. Atau lebih tepatnya dibangun A dalam dirinya sendiri. Itu pun saat baru membaca teori pramembaca dan pramenulis.
Lukisan A dengan Tinta Spidol
Dari Makan Kami membiarkan A makan dengan kemampuannya sendiri. Memimpin proses makannya sendiri. Iya, waktu itu, A berusia 7 bulan dan kami dianggap orangtua yang tega tidak menyuapi lagi anak kami. Butuh kuping yang agak tebal untuk tetap melangkah pada keputusan ini. Istilah kerennya BLW, Baby-led Weaning. Sebuah metoda yang diperkenalkan oleh Gill Rapley dan Tracey Murkett lewat bukunya. Metoda ini dianggap sensasional, tetapi justru yang paling realistis menurut kami setelah menelaah teori yang mereka paparkan. Seperti judulnya MPASI, makanan pendamping ASI. Karena kebutuhan bayi yang masih tidak banyak, hal itu yang menenangkan. Kalau terlihat bayi cuma cemek-cemek, lempar, tangkap bahkan keramas pakai makanannya sendiri setelah satu jam baru dimakan sedikit-sedikit, ya wajar saja. Karena mereka mendengarkan tubuhnya. Percaya gak percaya kan, bayi sudah bisa mendengarkan kebutuhan dirinya. Orangtuanya ngapain? Tinggal percaya sama kebutuhan bayinya. Hidup jadi lebih mudah tanpa drama makan, agenda tutup mulut dan tumbuh gigi yang dilalui dengan mulus.
makan-kerang A membuka cangkang kerang dan udang saat makan
  Untuk lebih yakin lagi pada keputusan ini, kami berkonsultasi dengan ahlinya, dr. Ratih Ayu Wulandari, IBCLC, yang juga mempraktikkan BLW kepada ketiga anaknya. Selain praktisi BLW, dr. Ratih juga salah seorang yang menguatkan anak-anaknya dengan metoda Glenn Doman dalam upaya melatih otot-otot bayi sebagai modal kemapuan makan mandiri. Dari proses makan ini turunannya ternyata cukup banyak. Bukan hanya perihal makanan yang dipilih. Ini menyangkut apa yang disediakan oleh orangtua untuk ditawarkan pada bayi. Yang tersulit tentu saja mengatur pola makan orangtua yang sudah berantakan, dikit-dikit: gula, garam, minyak, pengawet dan makanan berproses. Tantangan besar memang buat kami yang sudah terlanjur. Saya pada mi instan yang selalu sukses jadi pelarian, si Papa pada kopi dan ragam minuman manis-manis lainnya. Tetapi kalau sudah diniatkan, bisa kok. Nanti ya kapan cerita lagi tentang selera yang bisa dipelajari ulang (learn, unlearn dan re-learn) sementara itu, kami pernah buat episode podcast perjalanan makan kami sekeluarga di sini.
Udah kesebut ya tadi turunan makan banyak. Salah sekiannya adalah stimulasi untuk beragam indera bayi yang gak habis-habis. Gratis, tanpa harus beli alat dan modul tertentu. Tinggal sajikan saja beragam makanan dengan tekstur berbeda. Selebihnya, tonton dan belajar dari atraksi bayi. Mulai dari hand-eye coordination, yang kita pikir begitu doang sampai terkejut pada pilihan makannya yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi tubuhnya. Ini susah lho buat bayi. Membuat otaknya dapat mengkoordinasikan dialog sederhana kayak gini: ‘eh apaan tuh?’ ‘coba yuk’ ‘ambil ah’ ‘gimana caranya?’ ‘ambil deh, pakai tangan kali ya’ ‘masukin ke mulut habis itu kayaknya’ ‘ehh kenapa malah ke hidung sih, apa ini salah lagi ke pipi’ ‘kalau di taro di rambut dan peperin di meja gimana?’ ‘di lempar bisa juga gak ya’ ‘huoo bisa jatoh’ ‘eh kenapa itu mama papaku masukin ke mulut terus gak keluar lagi?’ ‘aku mau cobaa’ ‘huekks baunya, rasanya dan teksturnya begini’ ‘ehh tapi enak juga lama-lama di dalam mulut pindah-pindah, upps ketelen’ ‘nyooom, bisa juga perutku rasanya begini kalau di isi sama apa yang tadi di kasih mama papa, lagi ah’ Proses begini tuh panjang. Juga complicated! Belum lagi kalau diseling dengan distraski main dan beragam hal lain yang buat bayi semuanya, seru dan baru. Mereka adalah peneliti sejati. Kemampuan makan, seperti halnya kemampuan berjalan, juga bertahap. Kalau kemampuan berjalan dimulai dengan berguling, duduk, undur-undur, merangkak, berdiri, merondang, sampai akhirnya jalan dan lari terbirit-birit, kemampuan makan pun juga begitu. Sedikit demi sedikit diasah bayi setiap kali saat “belajar” makan datang. Sejauh orangtua memberikan kesempatan, bayi akan punya ruang dan waktu.
Gelantungan di Kursi
  Kemampuan makan yang mendukung bayi untuk naik kelas juga terus bertambah, seiring ia diberikan kesempatan melatih skill-nya. Di usia awal makan 6-8 bulan biasanya bayi baru bisa menangani makanan dengan potongan dan ukuran besar, utuh. Ini mungkin ya cikal bakal label tega ke orangtua yang mempraktikkan BLW. Memberikan seperti jagung, juga apel dalam potongan besar bahkan utuh beserta bonggolnya. Sementara sayuran seperti wortel, buncis, kembang kol bisa diberikan dalam potongan memanjang. Hal ini dilakukan dalam upaya memudahkan bayi dalam menangani “mainan” barunya untuk ia telusuri bersamaan dengan kekuatan dan kemampuannya. Saat usia bayi bertambah, kemampuannya meningkat lagi. Ia mulai bisa membuka dan menutup telapak tangannya. Di usia 10 bulan, ia mulai bisa mencubit makanannya. Untuk kemampuan ini, saya ingat A suka banget malah makan nasi sebutir-sebutir. Ecieee yang udah bisa, menaikkan standarnya sendiri. Menantang diri, kalau bisa seru (baca: sulit) kenapa pakai cara yang mudah (baca: sudah bisa). Setelahnya waktu berkelebatan, A makan dengan sendok, garpu, centong, ulekan, sendok sayur, sedotan, sumpit dan berbagai eksperimen yang ia ingin lakukan. Ada saat berhasil, tak jarang juga momen frustasi, nangis meraung-raung karena bayangan di dalam kepalanya tidak berbeda dengan kenyataan. Perpaduan antara kematangan kemampuan fisik dan atribut emosionalnya yang sedang berkembang. The perks of BLW, makan sehat sekeluarga. Artinya, kalau lagi datang ngaconya, kangen jajan diiikiit aja yang ajaib, dapat protes dari A, “Gak usah lah”, atau minimal, “Bikin aja sendiri di rumah,” senep-senep bahagia. Bahagia karena faktor internal dan eksternal makan makanan keluarga yang notabene makanan sehat sebagaimana ia diperkenalkan, terjaga maksimal. Dari Alam Kemampuan otot yang digunakan untuk menulis sebelumnya dapat diasah dengan bermain pada taman bermain terluas dan termurah. Bebas di alam. A punya paparan untuk bermain dengan lebih banyak tekstur, juga bentukan padat sampai cair. Dengan ragam makhluk hidup dari yang tumbuh di tanah, punya kaki, tangan dan sayap.
Main di Kolam Ikan
  Setelah pindah ke rumah sendiri, kami punya akses ke secimit tanah di depan teras dan di samping rumah. Tanah ini sudah kami diniatkan untuk jadi laboratorium hidup. Tempat kami mencoba berbagai teori, asumsi dan banyak hal lain. Bukan terbatas hanya tentang berkebun, tetapi juga untuk belajar hidup berdampingan dengan alam. Maka, dari makan, modulnya bergeser agak ke luar sedikit, kebun. Walaupun kebun umpel-umpelan kami lebih layak disebut sebagai kebon atau hutan, ah iya kami lebih bangga kalau ada yang pernah menyebutnya begitu. Dari sana A belajar, bahkan mengajari kami, mama papanya untuk berani memegang maggots. Ahaha, iya kami adalah dua pengecut yang diminta anak balita memegang maggots yang keluar sebagai hasil mengompos kami pertama kalinya. Takut dan bergidik awalnya. Si Papa sampai harus APD lengkap, faceshield, sarung tangan dan sekop untuk membuka komposter yang tidak lama keluar hewan beterbangan, yang kami baru tahu namanya BSF, Black Soldier Fly. Si Lalat baik hati yang membantu pembusukan sisa organik dapur menuju siklus berikutnya. Dari sana, petualangan lainnya di mulai. Saat berkebun, seiring musim, binatang yang mampir pun bergantian seiring perkembangan tanaman yang juga bertumbuh bersama kami, ulat berbagai jenis, kutu, kepik, semut berbagai jenis, kumbang, belalang kecil sampai super besar, kadal, cacing, kupu-kupu beragam warna dan corak, siput bercangkang dan tanpa cangkang, kodok, capung, musang, dan burung, beragam jenis burung dengan nyanyian yang berbeda-beda. Pengertian dan istilah yang kami gunakan juga bergeser. Tadinya kami menyebut ulat dan kutu daun sebagai hama, setelahnya tidak lagi. Mereka hanya sebuah indikator akan musim dan kadar nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Bukan lagi hama, tapi cukup nama mereka.
A Masak untuk Kucing
  Kalau tidak ada kata, “jangan” yang berlebihan, naluri anak sesungguhnya adalah mencoba dan bermain dengan berbagai makhluk hidup. Maka, beragam keluarga yang hidup di kebun ini kemudian menjadi keluarga kami juga, teman bermain A. Ranting dan pohon yang mulai tumbuh dan menguat jadi kayuh dan perahunya. Semakin lama, mereka tumbuh bersamaan dengan A. Tak jarang kami bercanda kalau semua pohon ini tumbuh dan berbuah pada saatnya nanti, A mungkin sulit dicari karena sedang bertengger di atas pohon menikmati buah-buahan hasil panennya. Katanya, kata-kata baik adalah doa. Maka itu pula yang terjadi dalam hidup kami. Saat sulit ditemukan di dalam rumah, A sudah dapat dipastikan sedang membawa buku dan atau makanannya ke atas pohon, kali yang lain ia sedang sibuk mengamati kawanan burung sambil bernyanyi di bawah pepohonan yang mulai tumbuh kian rapat.
A Memanjat Pohon Kamboja
  Dari alam yang paling dekat, kami mengajak A melangkah lebih jauh, menyadari keanekaragaman hayat di sekitar tempat tinggal kami. Bukan hanya keliling komplek, tetapi jauh masuk dan keluar gang-gang kecil dan rapat. Melihat kehidupan dari berbagai kacamata. Tentu saja kami berhutang pada pandemi yang membuat kami menyadari terlalu tidak tahu apa-apa kami terhadap kehidupan di sekitar kami. Beberapa episode kehidupan, cerita tentang kecintaan air bisa dibaca di sini. Juga sekelebat cerita A dan kami tentang kesadaran akan tanah di sini.
A Panen Bunga Telang
  Dari Rumah Di rumah, A kami paparkan dengan keseharian dari mulai belanja, masak, mencuci, sampai bersih-bersih rumah. Pada porsi yang ia mau dan bisa lakukan. Menjadikannya house chores bagian dari permainan bukan kewajiban, itu yang awalnya kami berusaha bangun. Bahwa dengan tinggal di rumah yang sama, bertiga saja, kami bisa punya peran untuk mendukung satu sama lain. Berbagi tentu saja, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menanamkan kepahaman bahwa ini adalah bersama dan bersama juga kita perlu menjaganya. Sekecil apa pun perannya. Meskipun pada kenyataanya, pekerjaan rumah saat berusaha dikerjakan oleh balita, tingkat kesulitannya naik secara eksponensial. Kami, mama papanya harus menyiapkan diri sebelum, saat dan sesudah kegiatan “bermain” dengan keseharian.
Mengenalkan A pada Kegiatan Menjahit
Dalam pekerjaan rumah tangga, otot pada tangan kecilnya terpapar kegiatan yang cukup beragam mulai dari mencuci beras, memasak nasi, memetik sayur, memotong ayam atau pun ikan, beserta lauk-pauk lainnya, memegang sodet, tingkat lanjut dari hand-eye coordination pada tahapan sebelumnya, dengan mengenali bumbu dapur dengan indera penciuman, perasa sekaligus menyiapkan enzim yang dibutuhkan untuk makan. Iyaa, dengan memasak, tubuh disiapkan sedemikan hingga. Keren bisa begitu diciptakannya! Pada tahapan kesudahan pemakian alat masak, ada kegiatan mencuci alat masak dan piring setelah selesai makan. Bakalan berantakan kalau dibantuin bocil, oh sudah barang tentu! Bagian dari keseruannya. Maka, saat itu, kami memikirkan strategi mencuci dengan beberapa ember. Mirip dengan yang dilakukan oleh abang tukang bakso. Ada ember bersih, ember sabun dan ember kotor.
A sedang Mengepel
  Sama halnya juga dengan pakaian, A melihat kami dari dekat mencuci pakaian dengan mesin cuci maupun manual dengan tangan saat diperlukan. Namanya anak balita tentu saja punya keinginan kuat melakukan yang dilakukan sekitarnya. Kami melihat keinginan terlibat ini jadi pintu belajar. Bukan dalam rangka mempekerjakan anak, tetapi dalam mengakomodir rasa ingin tahu tentang bagaimana segala sesuatu bekerja. Ada tahapan yang kami berikan sedikit demi sedikit. Seperti alat elektronik, kompor juga penggunaan pisau! Bagian terakhir paling mendebarkan. Banyak pertimbangan what-if yang menyisakan asumsi penting-gak penting yang kalau terlalu banyak ditakutkan dan dipikirkan tidak membuat kami melangkah ke mana pun juga selain mendahulukan rasa takut. Ahahah. Karena semua perlu kemampuan perlu diberikan waktu dan kesempatan.
A Potong Tahu
  Berkaca ke pengalaman kami sebagai orangtua yang baru sempat belajar mencuci piring di rumah teman sewaktu menginap atau di rumah saudara saat lebaran dalam kondisi asisten rumah tangganya pulang kampung. Sehingga kami sering punya pertanyaan sesederhana bumbu dapur tertentu seperti apa bentuk rupa dan kegunaanya. Maka saat A lahir, kami memutuskan harus membantu diri kami sendiri, mengurus satu sama lain dan bertumbuh bersama.
A Mengeringkan Teras setelah Hujan
  Dari Percaya Saat A mulai memegang benda tajam seperti gunting dan pisau, ini adalah momen of truth untuk kami. Pertunjukkan kepercayaan. Seperti yang telah kami lakukan pada tahapan sebelumnya dalam perjalanan makan. Kalau ia sudah sanggup, kalau ia memperhatikan bagaimana cara kami menggunakan kedua benda tajam yang merisaukan ini, pasti A juga akan bisa menyerap penggunaan benda-benda ini.
Melukis Batu
  Setelahnya, kami seperti memanen satu persatu kepercayaan yang telah diberikan. A semakin piawai menggunakan gunting untuk prakarya dan ide bikin-bikin dalam konsep dan imajinasinya dari usia 2 tahun yang didahului dengan menggunakan gunting kuku bayi untuk kebutuhan prakarya. Perlahan naik tingkat dengan gunting yang lebih tajam untuk kebutuhan menggunting kertas, kardus juga panen daun-daunan dan bunga dari kebun. Sampai akhirnya naik lagi ke penggunaan gunting dapur untuk memotong bagian-bagian ayam utuh. Selain itu, A juga mengunakan gunting untuk kebutuhan tubuhnya seperti menggunting kuku kaki dan tangannya sendiri di usia 5 tahun, dengan gunting kuku dewasa. Sementara untuk pisau, tahapannya juga berekskalasi dari pisau plastik, pisau IKEA berbahan yang plastik BPA, pisau roti, pisau buah sampai akhirnya pisau chef. Dada saya rasanya mau meledak waktu ia minta menggunakan pisau untuk memotong ubi. Hari itu telah datang! Setelahnya berkelebatan waktu penggunaan pisau sampai ia cukup bisa membantu memotong ranting yang menjulur ke jalan dengan pisau yang kami gunakan sebagai golok di kebun.
Tebak-tebakan Gambar
  Mudah untuk diucapkan, tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Pada akhirnya itulah yang mewakili kata percaya. Begitu pula setiap tahapan pramenulis ini dilalui A tanpa ada percepatan atau drill untuk menulis huruf tegak sesuai dengan kriteria kecakapan lazim. Kami percaya, pada saatnya ia akan datang dengan segenap keingintahuannya sendiri. Seperti juga menggambar, melukis, menyusuri garis, bidang, bentuk dan ruang yang ia ukir di atas kertas di atas tembok. Semuanya dalam kerangka bermain.
Menggambar Sayur
  Saat membaca huruf, kata, dan kalimat kian lancar, seperti keran yang terbuka. Bentuk dan huruf yang ia tuliskan, ia tahu benar artinya. Beberapa hari yang lewat, di dalam daftar belanja yang biasa kami buat sebelum pergi belanja sayur, buah dan kebutuhan lain, ia menorehkan narasi sederhananya. Pengertian yang telah ia bangun melalui banyak hal, termasuk agenda ngobrol ngalor-ngidul kami bertiga.
Melukis di Dinding dengan Kuas dan Jari
  Sebuah persepsi setelah mendengar harga tomat yang melonjak dari Rp 15.000/kg naik ke Rp 30.000/kg. “Mahal” tulisnya dalam kertas itu. Juga torehan gambar dan sejumlah rencana konkrit akan belanja hari itu. Menulis, melukis, menorehkan garis, gambar membutuhkan kekuatan otot-otot yang perlu dibangun. Dengan beragam kegiatan yang bisa jadi tidak (benar-benar) berhubungan. Seperti semua hal dalam hidup, yang juga misteri. Bisa jadi, semuanya baru dapat kita pecahkan saat masa itu sudah berlalu. Lalu kita semua menuangkan hikmah atas segala peristiwa dan tindakan yang terjadi di titik lampau. Karena tidak ada suatu kemapuan yang datang sebagai sebuah hal yang benar-benar kejutan. Begitu bukan? Seperti A yang ternyata menyukai terong, bukan dalam bentuk sayur lodeh atau balado, tetapi bola-bola sayur. Pernah juga punya hal-hal yang rasanya tidak berhubungan tetapi taunya sebuah kumpulan titik-titik? Cerita ya di kolom komentar.

Leave a comment