In Water We Trust


Don’t go chasin’ waterfalls

Please stick to the rivers and the lakes that you’re used to

I know that you’re gonna have it your way or nothing at all

But I think you’re moving too fast

TLC – Waterfalls

Waktu membaca tema tantangan bulan ini, ingatan saya kembali ke masa lalu saat saya dan beberapa sepupu yang kumpul dalam satu mobil di dalam perjalanan ke Pantai Pangandaran. Saya hafal benar, stok kaset yang ada di mobil Om dan Tante saya itu lumayan banyak, namun yang kami putar berganti-ganti cuma TLC dan Michael Learns to Rock. Sedang hits-hitsnya. Kami berlomba nyanyi keras-kerasan sambil buka jendela sesekali menghilangkan eneg dari perjalanan panjang. Bisa jadi karena kebanyakan menghirup AC, bisa juga sudah mual mendengar konser anak ABG musim liburan itu.

Saat itu, namanya juga bocah, mana peduli dengan arti lagu itu. Hal terpenting adalah perkara gaya. Hehe karena keren kayaknya bisa nyanyi dalam bahasa inggris, meskipun gak semua kata tahu artinya.

Percepat ke masa A sudah lancar berjalan. Sehari-hari kerjaan A, seperti juga anak balita lain yang baru bisa jalan, tak lain dan tak bukan, mengajak Emak dan Bapaknya jalan kaki setidaknya 3-5 kali sehari. Kalau sudah bosan jalan kaki di dalam kompleks, ia akan minta keluar. Sisi baiknya, kami jadi bisa membuka mata pada hal-hal yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Karena kaki yang menapak tentu saja berbeda dengan roda ban kendaraan yang berputar. Banyak objek dan detail yang bisa terlewat begitu saja.

Menapak

Agenda jalan kaki pun menjadi penuh ide dan destinasi. Dari yang awalnya hanya seputaran komplek, lanjut ke perburuan Pempek, berkeliling toko kelontong (iya, banyakan sih berkeliling dan melihat, bukan belanja, hihi), sampai numpang mengitari kebun binatang yang waktu kami cek ke aplikasi sudah sampai 11.000 langkah. Pantas saja kaki kami rasanya sudah menjadi bubur. Ini istilah lokal untuk menyatakan kaki yang sudah gempor.

Bukan A namanya kalau tidak mengajukan pertanyaan yang sulit buat orangtuanya. Di sebuah kali kecil yang kami lewati saat berjalan kaki, A menunjuk senggok kantong plastik yang mengambang terhempas arus sungai keruh di atas jembatan tempat kami melongok. β€œItu ada ikaaannya, Mama!”

β€œManaaa?”

β€œItuuuuu!” sambil jemari kecilnya menunjuk ke kantong plastik yang melayang tadi.

Saya menghela nafas. Menahan diri sebisa mungkin untuk mencari penjelasan yang paling tepat.

β€œItu plastik, An.”

β€œOhhh… ,” ada segelintir rasa kecewa yang saya tangkap, namun ia masih belum menyerah, β€œKenapa ada plastik di sungai, mama?”

Saya lalu teringat buku Sokola Rimba karangan Butet Manurung, yang sedikit banyak dipertanyakan hal yang sama dengan yang A tanyakan kepada kami, mama papanya. Di buku itu, anak-anak rimba yang kebetulan sedang ikut Ibu Guru Butet ke Jakarta bertanya tentang ironi yang mereka temukan. Persepsi bahwa orang kota yang notabenenya bersekolah dan pintar tetapi sungainya kotor begini.

Seperti sebuah tekad yang kami, saya dan pasangan, niatkan bersama untuk memaparkan A pada sungai yang seharusnya bersih.

Sedari A bayi, kami memang tidak terlalu suka membawa A ke pusat perbelanjaan. Sebagai gantinya, kami akan membawanya ke taman, museum, candi, pantai, kebun dan destinasi lain yang membuatnya lebih penuh.

Bukit Kabayan yang Rasanya Ibu dan Bapak di Warung yang Kami Temui itu Kabayan dan Nyi Iteungnya

Namun curug, belum pernah menjadi destinasi kami sampai pandemi tiba. Setelahnya, kami jadi tahu inilah tempat yang kami pilih untuk menyeimbangkan diri kami saat kehidupan kota terasa sudah terlalu bising. Walapun ya, kami masih hidup di kota yang ke desa-desaan atau desa yang ke kota-kotaan.

Main Lumpur di Sungai

Air adalah salah satu unsur penting untuk A. Tempat sekaligus unsur ia belajar banyak hal dari mulai percobaan yang sering dilakukannya di kamar mandi, sampai ke berbagai tempat lain di luar rumah. Rasanya, kalau di sebuah tempat ada air, perjalanan kami akan aman. Ahahaha setidaknya A tidak akan mati gaya karena bosan. Curug pertama untuk A, juga untuk kami, adalah Curug Ciismun yang bertempat di area Kebun Raya Cibodas. Untuk menempuhnya, butuh setidaknya 3 kali perjalanan dari Depok. Pertama kali, kami sampai ke sana sudah kemalaman, hingga pagar Kebun Raya sudah ada palang: TUTUP. Percobaan kedua, A masih belum nyaman berjalan kaki ke luar rumah setelah berdiam cukup lama di rumah pada masa PSBB dan PPKM. Jalan kaki ke luar kendaraan dan trekking setengah rute, lalu A minta kembali lagi ke mobil. Percobaan ketiga, A sudah semakin gagah berani, berbekal mainan kuda-kudaanya, naik sampai ke Curug. Tanpa digendong. Yay! Total jalan kaki lambat-lambat dengan sedikit-sedikit berhenti lihat bunga, dengar suara binatang, celup kaki di anak sungai dan lain-lain 2 jam PP ke kendaraan. Di tutup dengan makan bekal di area rerumputan di bagian lain kebun raya dan lari-larian naik-turun bukit.

Perjalanan Menanjak ke Curug Ciismun, Dua Jam Bolak-balik Bebas Gendong, Yay!

Menavigasi

Setelahnya, kami seperti ketagihan untuk menyesap kesegaran dari curug ke curug. Saya, tipe yang kalau sudah makan soto enak, terus-terusan akan makan di sana. Malas dikecewakan oleh yang lain. Sementara yang menjaga balanced di keluarga, 2/3 anggota lainnya kadang punya pendapat yang berbeda untuk menjajal curug lainnya atau sesekali kembali pada curug yang sudah pernah kami datangi.

Pandemi yang rasanya telah mengajarkan kami banyak. Termasuk untuk belajar hidup minim sampah, maka waktu ke curug dan melihat sampah plastik dibuang begitu saja, gatal rasanya untuk tidak memungutnya. Setidaknya, ini adalah upaya minimal yang bisa kami lakukan selain hanya menggerutu. Jadi kali yang lain, saat pergi ke destinasi alam, kami membekali diri dengan kantong dan capit untuk membawa sampah yang kami temukan. Rasanya meletakkan tempat sampah di sebuah destinasi wisata alam sudah bukan solusi tepat. Selain karena merusak pemandangan, ada kemungkinan tempat sampah akan dibongkar oleh satwa yang hidup di sana. Panjang nanti kalau mereka ikut makan sisa cilok, biskuit dan segala benda yang dimakan manusia.

A Kecil sedang Membagikan Cerita Pengamatan Perjalanan Sambil Melipir Di atas Jembatan yang di bawahnya mengalir Anak Sungai

Mendulang

Perjalanan ke alam, ternyata membawa oleh-oleh yang selalu gendut. Bukan hanya perkara hati, heartset, tetapi juga pikiran, mindset, untuk kami juga ternyata untuk yang paling kecil.

Alam bukan lagi jadi tempat yang menakutkan. Bukan lagi tempat yang banyak kita semburkan kalimat, β€œhati-hati,” tetapi sebaliknya, banyak dari kehidupan yang kami jalani sebelumnya kami pikirkan ulang. Apalagi kami berdua anak sipil. Kebayang kan?

β€œKenapa pohonnya di tebang, Ma?”

Ini adalah pertanyaan sulit A yang lain. Kali itu, ada rencana pembuatan balai warga di komplek kami. Balai warga itu dibangun di atas sebidang tanah fasilitas umum (fasum) yang ditumbuhi pohon daun kupu-kupu yang kokoh menahan longsor dari perumahan warga di kampung sebelah. Selain itu ada berbagai vegetasi lain seperti pohon pisang, pepaya, kersen dan beberapa tanaman harta karun yang bisa diambil anak-anak komplek kalau lapar pas main seperti ciplukan! Nyoom!

Kaos Kaki Lumpur

Namun, karena kuatnya keinginan untuk punya balai warga, tanah tempat berbagai pohon itu tumbuh harus mengalah. Hummh, rasanya, kalau bisa suara kami didengar, perlu banyak pemikiran untuk sampai ke kebutuhan. Bukan sekedar ada. Misalnya untuk kegiatan apa dengan frekuensi berapa kali seminggu sehingga sampai ke tahapan penting dan genting. Lalu untuk pembangunannya, bisa saja menggunakan desain yang labih ramah lingkungan. Misalnya dengan membiarkan pohon besar tetap terletak di sana. Atau desain rumah pohon sekalian. Tetapi yaa, ada saat energi perlu dikeluarkan besar untuk sebuah hal, ada juga saat energi perlu diredam, terlebih saat energi ini berpotensi menjadi sebuah ranah konflik.

Alih-alih menyita banyak energi di sana, kami memilih untuk menyalurkan energi untuk merawat tanah fasum yang terdekat dari rumah kami. Memenuhinya dengan tanaman apa pun yang bisa kami tanam. Merimbunkan kawasan. Ini seperti sebuah kesepakatan bersama, membiarkan rumah terdekat fasum untuk bertanggungjawab merawat sampai warga komplek melalui rapat warga memutuskan membangun fasum.

A dan Enin sedang Memancing Makanan Ikan yang Berlebih sambil Membersihkan Kolam Ikan di Rumah Abah dan Enin

Berlayar

Saya tidak pernah habis pikir, bagaimana sebuah anak sungai yang bertebaran plastik sampah bisa mengantarkan kami ke titik ini. Setidaknya membuat kami mengantar A pada level kecintaan yang berbeda. Begini ilustrasinya, β€œKita mau ke mana?” tanya A.

β€œCurug!” jawab Pak Suami.

Sudah dapat dipastikan, anak ini akan bergegas secepat kilat mengikuti debaran hatinya bersiap untuk menceburkan kakinya ke kesegaran alam curug. Beda binaran kalau destinasinya berubah.

Padahal kalau dikenang, banyak hal yang juga tidak terlalu β€œindah” seperti pengalaman dikejar kawanan monyet di Curug Nangka yang mengendus pisang matang di dalam tas jinjing saya atau pergi ke tempat yang katanya curug tetapi sana-sini sudah disemen dan terlalu banyak touch up dari manusianya.

Perjalanan Curug saat A sudah Siap dengan Peralwatan dalam Ranselnya Sendiri

Perjalanan curug setelahnya juga semakin beragam: berbarengan dengan keluarga lain dalam sebuah komunitas, ikutan open trip, bagian dari acara berkemah, sampai ya sistem ajak-ajak lainnya. Tentunya, semakin banyak juga yang kami belajar dari keluarga lain. Satu yang kami percaya, air, mau sungai, danau, curug telah membawa banyak arti dalam kehidupan keluarga kecil kami. Termasuk mengajarkan A logika air tanah, dengan metafora galon dalam tanah dari kakak pembimbing trip kecil bahwa gunung salak adalah galonnya Jabodetabek. Air, nikmat Allah yang perlu dicintai!

Curug Kawung, satu dari Tiga Curug yang Ada di Kawasan Curug Nangka

Ehem, tulisan ini dibuat dalam rangka menutup rangkaian Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di tahun 2023 ini.


3 responses to “In Water We Trust”

  1. Ahaha, Teh Jade, penamaan judulnya itu lho, unik, atraktif, dan bikin penasaran. “In Water We Trust”.πŸ˜πŸ‘πŸ»
    Sekali lagi Teh Jade (di mataku) mempresentasikan diri sebagai pecinta alam dan seorang enviromentalist, setelah sebelumnya (bulan lalu) menceritakan bagaimana Teh Jade ‘meng-embrace’ kebaikan tanah.

    A the Explorer juga tampak semangat ya menjelajah curug. 😍
    ***
    Baca bagian yang dikejar kawanan monyet, asli bikin deg-deg-an Teh 😭. Teringat planet of the apes ceunah, serem ahaha. Terus itu gimana kelanjutannya, Teh?

    Like

Leave a comment