Gambar Kecil-Kecil buat (Buku) Mama


Cuma Anak Kecil

Cara pandang orang dewasa seringkali terlalu kejam, apa lagi untuk anak-anak kecil yang notabene punya impian yang sederhana dan murni akan dunia di sekitarnya.

Saya ingat, salah satu paman semasa kecilnya pernah ditanyakan mengenai cita-citanya saat dewasa kelak. Iya, ini juga merupakan salah satu jenis obrolan yang buat orang dewasa saja tidak mudah untuk menjawabnya. Terlebih anak-anak.

Pertanyaan se-casual apa cita-citamu, kemudian dijawab sang Paman dengan hal paling keren menurutnya kala itu, “Supir truk sampah!” jawabnya dengan sumringah. Namun, reaksi kegembiraan yang ia luapkan sayang sekali hanya bertepuk sebelah tangan. Berganti dengan pandangan keheranan orang-orang dewasa di sekitarnya yang saling melempar pandang. Saya membayangkan dalam situasi itu, mungkin juga ada dewasa yang menahan tawa.

Cerita lain datang dari obrolan sore santai di sebuah kedai buku bersama Reda Gaudiamo dan Soca Shobita, putrinya. Saya memang selalu suka acara ngobrol up close and personal gini dengan penulis buku. Terbukti, saya duduk paling depan! Hahaha. Entah biar kedengeran suaranya, pas foto gampil dan pasti kelihatan, pas ada cemilan gak malu kalau harus nyomot duluan, atau karena yaa lebih kerasa saja obrolannya. Mungkin juga perpaduan semuanya. Sempat saya bagikan di sini.

Di bukunya, Soca dan Meps—sebutan Soca untuk Reda, banyak menggambarkan hubungan ibu-anak yang luwes. Santai kaya di pantai. Mereka bisa berbicara topik apa pun. Termasuk dilibatkan Reda dalam diskusi perihal kepindahannya ke kantor baru.

Tema khusus orangtua, ditiadakan di rumah mereka. Meskipun jawaban Soca kecil ya sederhana.

“Mau pindah kantor nih Kak,”

“Tapi aku mau lihat dulu.”

Lalu mereka pergi ke kantor baru Meps, komentar Soca,”Kantormu jelek!”

 “Tapi uangnya lebih banyak,”

“Kalau uang banyak artinya kita bisa jalan-jalan terus ya?”

“Iyaa.”

Begitu saja akhirnya mereka menyepakati diskusi alot tentang kepindahan ke kantor baru.

Reda, Meps tidak begitu saja mengadopsi gaya parenting seperti yang diterapkannya bersama Beps, ayah Soca. Tetapi ia telah berkaca pada kehidupannya sebagai anak, dahulu.

Saat tinggal di rumah tempatnya dibesarkan dahulu, orang-orang dewasa yang jumlahnya banyak di rumah itu, telah mengecilkan dirinya. Ucapan beserta pertimbangannya seringkali diacuhkan dan hanya dianggap mimpi dan omoong kosong anak kecil. Iya kecil dan tidak tahu apa-apa. Biarkan orangtua, yang dianggap lebih tahu, memutuskan segalanya. Sehingga saat sebuah mimpi kecil dibagikan, hanya dianggap angin lalu. Lebih jauh, khayalan anak kecil yang tidak ada artinya sama sekali.

Atau omongan yang terlalu mudah dipatahkan. Aaaah gak usahlah, gak bagus itu. Kamu gak bisa pasti, masih kekecilan. Adaaa saja sanggahan dari pihak dewasa yang seringkali tanpa sadar telah merendahkan arti impian dari makhluk-makhluk kecil.

Padahal, selalu ada celah yang sulit dilihat dari sisi yang lain. Dari sebuah kepala kecil yang mungkin punya rencana dan skenario lain. Mungkin tidak akan atau belum pernah lewat di dalam kepala para dewasa yang terlalu kompleks dengan segala pemikiran hipotetikal. Namun, karena tidak ada dukungan dari mana pun, mimpi dan khayalan itu bisa lenyap. Pupus tak berbekas.

Take a leap of Faith

Saya sendiri sering berkhayal hal-hal yang di luar jangkauan, at least oleh keluarga saya, pada saat saya kecil.

Bersyukur, meskipun tidak 100% didukung, setidaknya saya tidak pernah dilarang untuk bermimpi dan punya jangkauan.

Dalam benak saya dahulu, keren kalau bisa nonton sebuah konser. Sampai konser Richard Marx, musisi kawakan di kala saya kecil, hadir di tengah ibu kota. Saya lalu pamit kepada ibu saya untuk diperbolehkan nonton orang yang seringkali saya dengan suaranya di radio. Reaksi ibu saya tentu saja kaget, kok bisa-bisanya saya, anak ingusan yang baru masuk SD, berpikir untuk nonton konser. “Gak usah, anak kecil bisa keinjek nanti,” mirip-mirip begitulah jawaban ibu saya yang saya bisa ingat.

Setelah itu saya ingat, banyak sekali kehidupan saya dipengaruhi oleh radio, bukan layar kaca, yang menurut banyak orang lebih menarik. Maka obsesi saya berganti-ganti dari penyiar radio, penulis, tukang nulis puisi sampai pemain teater. Ini saya pendam rapat-rapat, takut dikira anak ajaib. Iyaaa, malas pada pandangan orang dewasa dengan hal yang tidak lazim. Seperti menghakimi, meskipun tanpa kata-kata.

Entah bagaimana, yang saya ingat, saya cukup bosan kalau ditanyakan kelas berapa, ranking berapa dan perkara cita-cita saat hari raya atau berkesempatan bertemu orang dewasa. Untuk menghindari kebosanan saat ditanyakan tentang cita-cita, jawaban saya berganti-ganti dari dokter gigi, tentara, sampai presiden. Hihi waktu itu keren kayaknya saat Indonesia belum punya presiden wanita. Tetapi di dalam hati, saya tetap memendam hasrat buat masuk ke kelas 3 Bahasa. Karena saya sudah berbunga-bunga memikirkan akan kuliah di mana. Ujungnya, ya tetap tidak boleh. Meskipun kami, saya dan orangtua tidak berdebat sengit. Ayah saya menyarankan masuk ke jurusan sains saja, then we go from there.

Pembicaraan dan mimpi yang tidak mendapatkan angin segar itu, saya alihkan kemudian menjadi mimpi yang rasanya lebih mendapatkan dukungan. Waktu itu sih rasanya seperti pembuktian yang diperlukan. Untuk kedua orangtua, handai taulan dan yang terpenting: diri sendiri. Heyyy aku bisa lho masuk kampus negeri! Meskipun panitia penerimaan mencibir di depan gerbang, “Nilai kebakaran semua begini kenapa bisa masuk ke sini?” lalu mulai mendelik curiga kepada saya yang dikira masuk lewat kongkalikong. Padahal, satu-satunya kongkalikong yang saya lakukan adalah dengan Yang Paling. Saya menarik diri dari dunia persilatan haha hihi dengan teman manapun juga, bertapa mengejar ketinggalan. Sengaja saya mencari tempat belajar intensif yang membuat saya tidak mengenal dan tidak dikenal oleh siapa pun. Biar gak bawaannya mau ngobrol teruuusss. Karena bawaan orok saya begitu, ngobrol teroooosss. Padahal mah mengaku introvert yang sering berlagak ekstrovert. Meskipun ternyata gagal, masih ada juga yang saya kenal. Ahahaha. Small world!

Dari momen kecil itu, saya jadi belajar bahwa kalau kita mau sesuatu sesungguh-sungguhnya, Yang Paling Kuasa akan memberikan jalannya. Iyaaa tahu, ini terdengar klise. Namun waktu mengalami sendiri aura meremehkan dari orang dewasa tentang pilihan kampus dulu, semuanya jadi terasa beda. Hanya butuh segelintir orang yang percaya, pada mimpi saya. Orang-orang yang tidak menertawakan atau menganggap mimpi saya ketinggian. Macam pungguk merindukan bulan. Saya percaya, mereka juga yang membantu melangitkan doa-doa untuk itu.

Kalau mau dipretelin sampai ke titik sekarang panjang, ahaha. Tapi lain kali aja ya ceritanya. Kali ini, saya mau cerita pengalaman merasa didukung itu punya arti besar. Maka, kesempatan saya, kami, saat naik kelas jadi mamapapa juga (rasanya) terbuka lebar. Kalau kami mau.

Bukan Hal Kecil

Balik lagi ke cerita Meps dan Soca ya. Di sore itu, di Kedai Patjar Merah, seperti yang terdapat di buku mereka, Soca menuliskan segala isi kepalanya untuk minta diketikkan oleh Meps. Awalnya, Soca belum bisa mengetiknya sendiri.

Setelah Meps selesai mengetik yang diminta, Soca meminta Beps untuk membacakan ulang hasil ketikan Meps. Seperti Quality Control (QC) mungkin ya, memastikan ibunya tidak ada salah ketik atau hal yang berbeda dengan yang ia minta.

Naskah awal itu, yang menceritakan keseharian Soca, memang masih jauh sekali dari cita-cita untuk menjadi sebuah buku. Tetapi disimpan dengan rapi dalam sebuah memori digital. Distempel dengan kepercayaan di antara kedua belah pihak. Anak dan orangtua. Raw as it is.

Seiring Soca tumbuh besar, mereka masih sering melakukan agenda ketik-ketik. Berdua. Lewat mode chatting yang sedang hits kala itu. Meneruskan membagi tema-tema mudah dan sulit dari mulai obrolan pacaran, ciuman sampai obsesi Soca untuk menjadi ninja.

Berbekal dari pengalaman Reda kecil yang tidak mengenakkan perihal mimpi, ia bertekad saat menjadi orangtua kelak, harus melakukan hal yang berbeda. Dari sana, mimpi untuk menjadi ninja ini dijejaki bersama. Ringan saja, tanpa harus menghakimi, “Ahh itu kan cuma di film!” atau komentar sejenis. Tetapi digantikan dengan, “Kita perlu apa untuk jadi ninja?”

“Ke Jepang!”

“Ke Jepang butuh apa?”

“Belajar bahasa jepang!”

Semua ditelusuri bersama. Mulai dari pergi ke toko buku mencari bahan untuk belajar bahasa jepang.

Dari pintu yang terbuka, angin yang berhembus bisa meniupkan sang Pemimpi ke mana pun. Bahkan ke negeri ninja yang saat itu tentu tak kasatmata.

Menghilangkan satu per satu kekhawatiran. Memberikan sayap pada sang Buah Hati. Di lain hari, saat sayapnya terkembang, mengikhlaskannya terbang jauh. Bukan mengikatnya pada kaki untuk selalu dekat di mata.

Berkaca dari keluarga Meps, Soca dan Beps, yang diperlukan untuk bertumbuh adalah kepercayaan tak hingga. Pada anak, sebagai seorang individu yang utuh. Memandang impian liarnya dengan sangat serius. Mendukungnya dengan segala daya. Menyediakan lingkungan yang terus menjaga mimpi kecilnya agar terus bertumbuh dan tidak terus kecil apalagi lenyap.

Dalam setting rumah, sedikit banyak kami mengacknowledge A dengan situasi yang juga nyaman untuk manusia kecil. Hal-hal sederhana seperti meletakkan laci peralatan makan yang sesuai dengan tinggi badannya. Tidak memilih furniture bulky yang memungkinkan ia bergerak ke segala arah. Sehingga tidak ada area yang fix, kecuali kitchen set. Semuanya atur-able. Artinya, kursi dan dingklik yang bisa dipindahkan setiap saat untuk didekatkan ke saklar lampu, kompor dan tempat tinggi lain untuk dirambahnya. Singkatnya, semua barang di rumah, boleh jadi mainan slash alat belajar.

Dalam pembicaraan dan diskusi keluarga, suara A memegang 1/3 dari suara di rumah. Pendapatnya selalu kami perhitungkan. Kalau hasil musyawarah bisa diterima baik dan buruk oleh ketiga pihak, itulah keputusan yang dijalankan bersama. Menceritakannya tentu saja lebih mudah daripada mempraktikkannya, terlebih di awal waktu menerapkan hal ini. Apa lagi kami berasal dari pola parenting yang berbeda. Parents know best!

Karena saat sebuah argumen datang membendung mimpi. Yang Paling Kecil akan berhenti bercerita. Sebaliknya, saat pintu dibuka, suara anak akan terdengar lantang. Benar dan jujur.

Membuka Pintu Kecil

Tahun 2021, kami uji nyali. Berani-beraninya menerbitkan buku,  secara mandiri. Tujuan utamanya untuk berkaca, pada pengalaman 3.5 tahun pertama hidup kami sebagai mamapapa. Pandemi telah berjasa memberikan banyak waktu bengong. Dari rentetan bengong berkelanjutan ini, kami pikir sebaiknya diabadikan dalam sebuah catatan panjang perjalanan keluarga.

Kesempatan ini kami gunakan juga untuk memberikan peran pada kami bertiga untuk berkolaborasi. Dari mulai meramu ide, menulis, menyunting, membaca ulang naskah, mengatur halaman ulang, melakukan negosiasi dengan pihak ketiga, menjual buku, mengiklankan, membungkus, mengirimkan paket buku sampai mendengar langsung feedback dari pembaca. Iya semua lini kami lakukan itu inhouse. Bertiga banget. Dengan A yang masih dalam rentang usia 3-4 tahun kala itu.

Awalnya, kami hanya mencetak buku ini untuk keluarga, kerabat dekat dan kolaborator yang kami ajak untuk menuliskan perjalanannya bersama. Lama kelamaan, ada beberapa kenalan lain yang juga tertarik membaca cerita kami.

Semenjak saat itu, menuliskan dokumentasi perjalanan kami sekeluarga menjadi sebuah kado untuk diri sendiri dan untuk keluarga kami. Pengalaman membahagiakan yang membuat ketagihan. Melihat diri kami yang bertumbuh dari kami yang dulu ke titik hidup hari ini.

Dari buku pertama yang kami tulis bersama, kami belajar bahwa ketertarikan kami menulis ternyata berbeda gaya dan cara. Saya yang lebih suka membagikan case studies, sementara si Papa lebih suka ngulik paper yang merujuk sebuah root case keseharian parenting slash kehidupan kami. Nilai-nilai yang kami hidupi, bukan hanya contohkan kepada A.

Karenanya, di buku-buku sequel (yang bisa dilihat di bagian referensi post ini), kami mulai pisah jalur. Setiap tahun, dokumentasi ini kami niatkan untuk kami potret. Bukan hanya dalam artian sempit sebuah album foto, tetapi juga dengan menyertakan konteks dan hal-hal yang bertumbuh dari kami, not only as an individual but also as a whole.

Pada pertengahan tahun, saat selesai dengan naskah buku yang sedang saya garap, kami membutuhkan jasa seorang ilustrator. Dengan time frame dan budget yang bersaing sama sempitnya. Ada seorang teman yang menawarkan harga melambung dengan paket komplit, namun kami tidak punya dana untuk membayarkan jasanya. Di sisi lain, ada teman baik hati yang menawarkan jasa dengan harga yang masuk akal dan kantong, namun waktu, tangan dan kepalanya sendiri sedang penuh. Ah, nekat saya gambar sendiri sajalah, pikir kami waktu itu.

Tiba-tiba saya dikejutkan oleh seorang illustrator cilik yang mengatakan gambar buatannya boleh saya gunakan sebagai cover buku. Bahkan boleh pilih dari beberapa gambar yang ada dalam galerinya. Ah saya sudah tahu mana yang akan saya pilih! Namun dengan syarat: inisial, nama dan judul buku serta sentuhan akhir semuanya full dari arahannya. Saya setuju! Deal!

Akhir tahun yang lalu, saya mendapati cover hasil gubahan sang Ilustrator cilik kami sudah terpampang di aplikasi perpustakaan digital yang sekaligus menerbitkan ebook saya.

Semenjak pintu kecil itu terbuka, entah kapan waktunya hanya Dia Yang Maha Tahu, aliran gambarnya seperti sungai yang tak terbendung. Manual dan digital. Bahkan saat sebuah kesempatan lain hadir, dalam sebuah komunitas literasi anak, A bersedia  menjadi sukarelawan untuk menggambar ilustrasi cerita dongeng bersambung dari klub.

Awal tahun, saat kami bertukar cerita tentang hal-hal baik yang kami rencanakan sebagai individu dan keluarga, A menyela, “Mama mau bikin desainnya juga ga? Nanti Ana yang bikin desainnya. … Nanti Ana mau gambar aja.”

There, there… she volunteer to take part in our family project!

Begitulah gambar-gambar kecil buat (buku) saya tercipta. Dalam arti yang sebenarnya dan dalam arti yang lebih dalam lagi.


Leave a comment