Fixing Things, Growing Things: Terima Bongkar, Tidak Terima Pasang


Paradigma Orang Lama

Kami mengkategorikan diri sebagai orang lama. Yakni, mereka-mereka yang menyimpan barangnya setelah rusak untuk diperbaiki dan digunakan sampai nilai manfaatnya benar-benar habis, alih-alih generasi ‘lem biru’. Lempar, beli baru. Memang, kadang perbaikannya gak secara langsung. Ada yang harus beli sparepart-nya dulu atau material lain yang dibutuhkan agar si Benda bisa kembali (agak) sesuai fungsi (awal).

Ada rasa personal yang tumbuh dalam setiap benda yang kami beli, jaga dan gunakan sepenuh hati. Tidak mudah untuk digantikan. Bisa jadi karena memori tentang barang-barang ini bertalian dengan proses pembeliannya, pemberinya, bisa juga karena event yang terjadi pada masa tertentu, atau ya karena benda tersebut sudah digariskan untuk menjadi support system hidup. Mudahnya, ya karena bahannya adem, untuk baju ya. Bisa juga ragam keistimewaan dan hal-hal yang mungkin untuk orang terdengar cukup biasa saja. Tapi buat kami spesial. Buat A, putri 6 tahun kami, tidak mudah untuk menyudahi pemakaian baju atau celana pendek rumahan yang ada gambar beruangnya. Meskipun (beruangnya) secuil. Perlu waktu sekian perenungan untuknya berujar, “Ini udahan aja deh!” Artinya, baju dengan gambar beruang secuil itu bisa dengan santai masuk ke kotak bahan prakarya kalau benar-benar sudah usang. Kalau belum, biasanya diperpanjang terooos sampai benar-benar gak bisa dipakai lagi sebelum dihibahkan kepada teman-teman yang memproduksi barang dari sisa kain konsumsi untuk jadi isian bantal kucing dan anjing terlantar.

Minimalism: Cocok untuk Hemat, Irit, Pelit, Efisien

Dulu, saya berada dalam pola konsumsi yang overbuy. Atas nama keamanan dan kenyamanan. Tidak pernah terpikir untuk mencoba di ujung yang lain, underbuy. Membeli kalau benar-benar sudah habis atau tidak ada di rumah. Karena toh waktu sebuah benda atau material habis, kita tak benar-benar mati. Tidak benar-benar habis. Masih selalu ada waktu untuk keluar rumah, berjalan kaki untuk sebentar menyambung kebutuhan yang dimaksud di warung atau toko terdekat. Jadi, menumpuk spare terlalu banyak untuk saya, juga kami sekeluarga, sekarang ini adalah berlebihan.

Pandemi mengajarkan kami untuk menelusuri arti cukup. Mulai dari mana? Mulai dari hidup minim sampah dari rumah. Waktu itu, kami mulai dengan membongkar rak buku. Untuk akhirnya dipertemukan dengan buku-buku yang kami beli tetapi belum sempat kami baca. Buku-buku yang dituliskan oleh Ibu DK. Wardhani, praktisi zero waste.

Beruntung, kami membacanya bergantian. Maka, kerja keras untuk belajar minim sampah kami dari rumah, memungkinkan untuk dilakukan bersama. Bukan kerja mandiri, tetapi pola hidup yang kami benahi bersama.

Tidak terlalu ambisius. Karena kami sadar, ini adalah langkah besar yang perlu dilakukan dalam langkah panjang. Memulai kebiasaan baru adalah usaha besar. Karenanya, perlu merayakan kemenangan demi kemenangan kecil. Sesederhana membeli saat butuh bukan ingin. Membawa wadah yang ada, bukan pengadaan barang yang tidak ada semata-mata karena ingin merubah pola hidup berkesadaran.

Sulit? Ahahah berubah memang begitu, sulit. Kalau mudah, artinya melakukan semuanya hanya pada zona nyaman. Stagnan. Beruntung, saya dan si Papa, semua telah kami mulai saat kami belum berkeluarga. Dengan pola dan gaya yang berbeda. Irit, hemat cenderung pelit. Saya dan si Papa sama-sama tidak suka pembelian jor-joran. Kecuali satu hal, buku! Kebutuhan ini adalah level yang berbeda untuk kami. Hal yang membuat kami galau bukan pada merk barang yang mau kami beli, tetapi judul buku yang mau kami checkout dari keranjang belanja.

Pada sebuah sesi diskusi tentang perbaikan rumah, kami menimbang panjang hal-hal yang butuh urgensi tinggi. Penting dan genting. Seorang teman menyematkan kata yang lebih pas, efisien. Dibandingkan dengan kata irit dan pelit setelah menyelesaikan diskusi panjang tentang perbaikan rumah, dengan kesimpulan akhir: perkecil skup kerja. Ahahaha!

Demikianlah, kami mulai memperbaiki hal-hal yang kecil juga dari rumah. Berbekal skill sederhana, keinginan membongkar. Mulai dari bongkar jahitan sampai bongkar isi kepala (mindset). Bahwa membeli belum tentu menyelesaikan kebutuhan.

Some things work, some things broken

Karena terbiasa melihat orangtuanya membongkar, yang bisa kami bongkar, A pun terbiasa kami berikan ruang untuk membongkar benda-benda di sekitarnya. Perimeter rumah, kami upayakan jadi tempat paling aman untuk rasa ingin tahunya. Mulai dari membongkar dan menyusun ulang pulpen. A punya kesempatan untuk membuka ruang keingintahuannya dengan kegiatan yang seolah terlihat sebagai merusak fungsi sebuah benda. Tetapi dengan rasa ingin tahunya pad acara kerja sebuah benda.

Suatu masa, pulpen menjadi benda yang perlu A retas fungsinya. Ia pecahkan misterinya. Setelah membuka semua elemen, ia meletakkan dan menyusun ulang setiap bagian layaknya potongan puzzle. Dalam kepalanya ada asosiasi yang bekerja pada sistem pulpen.

Kemudian A mulai menyebutkan setiap elemen sebagai pakaian sementara bagian tinta terbayang dalam kepala kecilnya sebagai pipisnya. Usianya masih 3 tahun. Waktu itu, si Papa menggambar ulang metafora yang dibuat oleh anak gadisnya.

Keinginannya membongkar berbagai benda terus berlanjut dari mulai meja kecil, mainan, kotak peralatan kerja. Sampai rasanya mainan tool box sudah tidak menarik lagi baginya. Sebagai gantinya, ia lebih suka tool box beneran. Karenanya, palu, tang, obeng dan berbagai kunci sudah dicobanya untuk berbagai kegiatan.

Selayaknya cerita-cerita kemenangan dikenang, cerita tentang rasa penasaran juga menghadirkan cerita-cerita keberhasilan yang tertunda. Kenyataan bahwa rasa penasaran membongkar sebuah benda atau alat belum diikuti dengan kemapuan memasang ulang sebuah benda. Setidaknya agar dapat berfungsi seperti sedia kala.

Ketika sebuah rencana perbaikan belum berhasil di tangan pertama, kita memerlukan tangan kedua dan bahkan tangan ketiga. Saat itu, kami belajar mempraktikan di depan sepasang mata kecil itu, bahwa kami bukan manusia yang serba bisa. Meskipun telah mencoba memperbaiki sebuah benda sendiri.

Saat kesadaran menghinggapi, yang dibutuhkan adalah level skill yang lebih tinggi, lebih khusus pada bidang tertentu, kami menarasikan pengalaman ini kepada A.

Misalnya, saat menjahit pada level tentu kemampuan kami belum sampai, tak segan kami minta tolong pada Bapak Penjahit Keliling. Atau pada waktu kepanikan menyerang, kunci salah satu pintu kami patah di sebuah saat genting, kami memanggil Bapak Tukang Kunci. Begitu pula saat wajan dan panci kesayangan gosong, kami mencari tempat yang coating yang memungkinkan perbaikannya. Cerita detailnya pernah dibagikan di sini.

Membedah rasa ingin tahu, penasaran, yang kadang punya istilah terima bongkar tidak terima pasang ini bukan hanya dilihat A dari kami berdua. Tetapi juga dari orang dewasa di sekitarnya. Kali itu A belajar dari curiosity Enin yang ingin tahu dengan sangat saat DVD player tidak bisa memutar DVD yang telah ditelan bulat-bulat piringannya oleh mesin pemutar.

A tentu saja ada di barisan paling depan ikut Enin dengan senjata utama, obengnya. Ia menugaskan dirinya memastikan setiap baut tidak ada yang kabur dari aksi pembokaran Enin.

Hari hampir siang, misi Enin masih belum berhasil. Tangan kedua dipanggil, Mang Aam, asisten andalan Enin dan Abah untuk berbagai urusan. Dari dapur, kebun hingga eletronik. Mang Aam melihat hasil bongkaran Enin dan A yang ternyata belum sampai ke akar permasalahan, katup DVD yang menelan piringan tanpa memutar isi kepingan data itu.

Setelahnya, tangan ketiga digunakan. Mengangsurkannya ke Tukang Servis alat elektronik. Masalah selesai? Hihi belum, saat hendak menyambungkan ke televisi, kabel dan port tidak compatible. Masalah baru! Menaikan level keseruan.

Kali ini, A melihat Papa yang berjibaku eksperimen ragam kabel yang tersedia di rumah EninAbah dengan port yang tersedia. Berhasil, akhirnya! Waktu semua sudah menjadi cerita mulus, A sudah terbawa mimpi tertidur saat menonton cara pembuatan sushi dari deretan kaset DVD yang dipilihnya sejak pagi.

Menular

Rasa ingin tahu yang mekar perlu selalu ditularkan, dihidupi, dibicarakan. Seperti membicarakan hal-hal yang remeh dan receh. Setiap harinya.

Maka hal-hal berat seperti, “Papa lagi penasaran deh bagaimana sih organisme terbentuk pertama kali, papa tadi ketemu paper yang cerita ini …” atau, ”Mama perlu cari tahu tentang orang ini, A, karena Mama gak punya informasi tentangnya, padahal Mama perlu menuliskannya,…”

Lalu semuanya bersambut dengan pertanyaan dan pernyataan dari mulut kecilnya. Awalnya sederhana. Lama-kelamaan semakin kompleks. Sampai tanpa saya sadari, ia telah memberikan kami pertanyaan mendasar yang harusnya kami cari tahu lebih dahulu. Sesederhana teori penulisan, 5W+1H, show don’t tell; berbekal curiosity yang terpelihara.

Tidak semua tentu bisa dan dapat kami jadikan jendela belajar untuk A. Semuanya tergantung minat, waktu, energi dan banyak hal lain. Ada yang bisa membantunya menambah background knowledge. Ada pulang yang hanya cukup sampai nice to know.

Bagian terpenting, adalah menyiapkan A menjadi struktur bukan tambahan beban dalam masyarakat dan tempatnya berhidupnya kelak. Alih-alih menyelesaikan masalah dengan mengandalkan resource dari luar, kami mencoba menghidupi diri kami dengan memperbaiki. Bukan dengan memutus rantai manfaat dari benda yang kami miliki. Dengan melihat masalah, menganalisa sumber daya dan berdaya menggerakan diri sebagai seorang problem solver. Karena memperbaiki dan memperpanjang manfaat sebuah benda artinya juga memperbaiki dan menaikkan ruang belajar untuk diri kami. Menumbuhkan daya kreasi, daya cipta dan daya juga untuk beradaptasi mencinta yang kita miliki sepenuh hati. Dalam gambaran besar, menjaga kelestarian tempat hidup kita semua dengan melambankan keinginan untuk berbagai hal.

Karena terima bongkar, tidak selamanya harus jadi, tidak terima pasang kan?


One response to “Fixing Things, Growing Things: Terima Bongkar, Tidak Terima Pasang”

Leave a comment