Satu untuk Semua: Bola yang Beralih Fungsi


Cerita Lama

Bola di rumah kami, bukan merupakan barang baru tetapi perpanjangan manfaat dari rumah teman. Bola lama yang cenderung agak kempes. Karena fungsi awalnya hanya untuk mengaktifasi kaki si Papa, sang atlit di dalam keluarga kami. Bola ini juga bukan hanya dinikmati kami sekeluarga, tetapi juga untuk anak-anak lain yang hobi main bola sekomplek. Bisa dibilang, si Papa ini masuk dalam kawanan bola lah. Hihi.

Semakin lama, tentu saja bola lama ini semakin renta. Sampai-sampai kami menyebutnya bola tisu. Saking tipis dan sudah terkelupasnya bola sepak kesayangan ini. Saya sampai tidak ingat penampakan awalnya saat datang ke rumah kami. Karena cangkangnya sudah lepas, kami ikut sertakan ke tempat waste manager yang membantu kami mengelola sisa konsumsi yang belum bisa kami olah sendiri di rumah.

Tadinya A tidak pernah terlalu tertarik untuk menendang bola. Sampai suatu ketika dalam benaknya ingin juga ia melakukan hal yang sering dilihatnya. Ikut tendang bola seperti papa, dan juga mama. Ahahah.

Saya bukan pemain bola beneran kayak si Papa, hanya sampai provokator bola saja. Kejadian tempurung kaki kanan bergeser yang membuat saya terpincang-pincang setahun penuh, rasanya cukup membuat saya kapok seketika. Tapi saya menyerah kalau kesempatan main bola ditawarkan begitu saja di depan muka. Sikat!

Ceritanya, saya nekat mengajukan fasilitas olahraga ke kantor tempat saya bekerja dulu. Kalau golf, tenis dan yang lainnya bisa difasilitasi jadi ekskul kantor, mengapa main bola buat ibu-ibu dan mbak-mbak kantoran gak bisa? Waktu itu saya diminta menggalang 40 orang yang mau ikutan. Berasa nyaleg cabang olah raga futsal ibu-ibu ahahah! Kerjaan saya tiap Senin siang mengirim blast email iklan, supaya tiap Senin sore latihan itu selalu full team. Hampir semuanya saya kerjakan sendiri, dokumentasi, iklan, mengurus ke HRD dan macem-macem hal lain agar ekskul untuk pegawai swasta seperti saya yang rindu olahraga setelah duduk seharian di kantor berAC, bisa jalan. Hasilnya, yaa lumayanlah, gak dibubarkan sampai setidaknya saya memutuskan resign, bisa ada beberapa kali sparing partner melawan ibu-ibu dan mbak-mbak kantoran lainnya.

Cerita Agak Baru

Perbedaan kami tentang bola, rasanya merupakan satu dari sekian hal yang mengikat kami. Iyaa, perbedaan tidak melulu sesuatu yang mesti terpisah, tetapi melengkapi.

Waktu menikah dengan si Papa, saya jadi tahu kalau ada orang yang segitunya banget sama bola. Ya main bola, ya nonton bola, ya baca berita bola, ya baca dan beli buku tentang manajer-manajer dan pelatih-pelatih bola. Eleuh… Saya sempat mikir, mau buka sekolah bola apa gimana si Papa ini teh?

Di sisi lain, si Papa juga jadi tahu kalau saya hanya segitu sama bola khususnya dan hanya segitu aja saat menyangkut olahraga dan niat untuk bergerak. Saya gak suka nonton bola kecuali piala dunia tahun duluuuu, banget, waktu klub Jerman masih diperkuat sama Oliver Bierhoff. Habis itu sudah. Tamat. Saya hanya suka main, saya paling gak suka jadi penonton. Buat saya, duduk di stadion atau pun duduk di depan layar kaca, sama menghabiskan waktunya. Mohon maaf, saya suka lari-lariannya ternyata. Lebih seru daripada nonton orang lari-larian. Mungkin, mungkin ya, mirip sama orang yang gak suka nonton pertunjukan tari, lebih ke gak tahan ingin menari sendiri. Hihi!

Semenjak resign, saya sudah off main bola, futsal maksudnya. Sepatu sudah saya kandangin. Beberapa kali teman-teman mengajak saya main lagi, namun satu dan lain hal nampaknya bola belum jadi sesuatu yang saya bisa pilih dan prioritaskan lagi. Setidaknya sekarang ini.

Paling banter, main bola sama si Papa dan anak-anak kompleks untuk tendang-tendangan. Jadi ibu gawang, karena udah ibu-ibu, jadi bukan anak gawang lagi. Tentu saja, setelah lama main, kaki saya sempat lupa cara menendang bola. Kekeke.

Cerita Baru-baru Ini

Baru-baru ini, si Papa memproposed kami, saya dan A, untuk membeli bola baru. Karena si bola tisu sudah sangat memprihatinkan kondisinya. Ahahaha.

Siang itu kami ke pasar, tepatnya ke toko olahraga menemani si Papa yang merindukan menendang bola beneran. Ehem, bola yang masih membal. Bukan penyek, reyot dan meletot tanpa cangkang dengan bulu-bulu yang mbrudul.

Setelah memilih, menawar, terjadilah transaksi. Si Papa pulang dengan hati riang. Bersama bola, ia membawa pulang set yang termasuk jaring bola dan pentil untuk memompanya kelak. Kami yang menemaninya pun ikut bahagia bersamanya. Bola baru! Yay!

Sampai di rumah, sudah diputuskan bola sepak baru ini tempatnya adalah di luar rumah. Di dalam jaring, digantung di pergola yang kami fungsikan menjadi tempat jemuran baju. Sampai ia dikeluarkan lagi nanti, saat si Papa mau latihan tendang-tendang bola.

Nyatanya, sore dan malam itu, A sudah tidak sabar main bola juga. Bukan disepak. Tetapi berubah fungsi jadi ayunan bola. Permainan yang ia ciptakan sendiri sambil bersuka ria di bawah ayunan itu. Setelah bosan bermain sendiri, ia memanggil saya dan si Papa untuk menjadi partner ayunan bolanya.

Tidak puas sampai di sana, bola ayun itu kemudian dialihfungsikan lagi sebagai bola voli, kemudian samsak. Imajinasinya penuh untuk bermain dengan bola itu dan mencoba berbagai manuver. Dalam skenario lain, saya mungkin akan berteriak histeris ketakutan A akan cedera dengan berbagai hal yang mungkin saja terjadi, mungkin juga tidak. Tetapi, sore dan malam itu, saya memutuskan tidak bertindak dengan terlalu banyak skenario what-if, melainkan memilih bermain bersama A, di saat memungkinkan. Sekaligus menunjukkan sisi keamanan dari ayunan bola. Karena saya gak mau rugi, sekalian juga kami belajar hal sederhana dari ayunan bandul. Beluuum, masih jauh dari fisika. Hanya pengamatan berdasarkan observasi yang bisa dan memungkinkan A lakukan di antara keriaan bermain dengan bola ayunannya. Kali itu, saya memilih menjadi pemain juga penonton bola. Hal baru yang saya coba jajal. Menonton dan menahan diri.

Keesokan paginya, kami bertiga main tendang-tendangan dengan dua bola. Bola tisu dan bola baru yang bulat dan mengkilap. Cling! Saya dan A menendang bola, si Papa menjadi goal keepernya. Main bola pagi itu, sukses menjadi aksi hari tanpa mager. Sebuah upaya untuk bergerak. Memalaskan diri di rumah, di balik berbagai alasan proyek, craft dan lain-lain yang selaluuu adaaaa saja.

Pagi itu, bola menjadi lambang kemenangan kami lagi untuk bergerak. Mengalahkan kemalasan diri. Satu untuk semua. Satu bola untuk bertiga. Satu bola untuk beragam fungsi: sepak bola, voli, sepak takraw, samsak tinju, jugaaa yang terpenting pengikat kebersamaan kami. Untuk pilihan hidup sehat, kini untuk nanti.


Leave a comment