Naik-Naik ke Puncak Gunung Himalaya


Kelanjutan Baca Pelan-pelan

Masih ingat dengan salah satu buku yang kami baca pelan-pelan bersama di bulan Januari?

Water Hole, salah satunya. Suatu ketika, kami sudah sampai angka binatang-binatang dengan latar belakang materi hitung: angka 4. Backgroundnya Pegunungan Himalaya.

Saya ingin tahu, “Ana tau bedanya pegunungan sama gunung apa?”

“Enggak.”

Dengan maksud memberikan umpan dan kail, saya mencoba memberikan putri 6 tahun kami ini contoh dengan konteks yang serupa meskipun tak sama, “Mmh mirip sama kayak kata ini: perumahan. Jadi, kalau pegunungan. …”

A mengajak saya melompat, dengan datang bersama contoh slash pertanyaan lain, “Oh jadi kalau buku banyak perbukuan? Kalau macan banyak jadi permacanan gitu?” Ia berhenti pada akhir kalimatnya dan merasakan sebuah kelucuan.

Iya, iya, semua karena karena kami sedang membahas macan tutul salju di halaman itu. Jumlahnya hanya 4 ekor. Sudah diklarifikasi oleh tangan mungil A. “Satu, dua, tiga, empat.” Mereka sibuk mencari air ke tepi kolam yang sudah hampir surut akibat musim kemarau. Ekspresi mereka menyatakan kekecewaan.

Tentu saja kami gak ujug-ujug ngomongin tentang pengertian kata pegunungan begitu saja. Latar belakang macan tutul salju itu waktu kami cek di bagian belakang buku, ternyata terbaca: Pegunungan Himalaya.

Malam itu, kami membuka diskusi tata bahasa, “Pe-gunung-an dan pe-rumah-an itu untuk menyatakan jumlah yang banyak dalam sebuah kumpulan. Hehe, buku dan macan tidak pakai pe- tetapi diulang dua kali, untuk menyatakan jumlahnya lebih dari satu. Karena mereka bisa berdiri sendiri dan bukan kumpulan.”

Kami lalu bermain-main dengan kata ulang, macan-macan, buku-buku, dan benda lain yang bisa diulang untuk menyatakan jumlah yang lebih dari satu. Sampai kami berhenti di kata kupu-kupu dan kura-kura.

“Berarti kalau banyak kupu-kupu kupu-kupu gitu?”

Ya bukan gitu juga kalii.

Kami ketawa ngekek bersama 😂😂😂

Mencari Alternatif

Dari sebuah diskusi dan sharing bersama orangtua pegiat sekolah rumah lainnya, salah satu isu yang diangkat adalah mencari sumber informasi selain dari Google.

Maka malam itu saya minta A membawa buku catatan dan pulpen sebelum acara baca buku.

“Buat apa?” tanya A, penuh rasa ingin tahu untuk sebuah hal yang untuknya tidak biasa.

“Buat tulis-tulis atau gambar yang penting kalau pas baca buku nanti,” jawaban jujur rasanya lebih aman.

Ehem demi maksud saya yang terselubung, membiarkan A terbiasa belajar kristalkan golden momentnya 🤭

Setelah pembahasan gunung, pegunungan dan Himalaya, kami sama-sama gambar pegunungan Himalaya. Di buku masing-masing.

Lalu A berhenti menatap saya.

“Himalaya di mana itu?”

Berusaha praktik gak ujug-ujug Google-ing saya minta A mencatat yang perlu ia tahu di buku catatannya.

Untuk kami cari tahu kemudian, entah di perspustakaan atau sumber informasi lainnya: “Pegunungan Himalaya” dituliskannya di buku catatan.

Tak lama, A ngeloyor pergi. Lah ke mana anaknya sih? A kembali sambil bawa spidol pink, kemudian menambahkan titik-titik pada gambar Pegunungan Himalaya.

“Apa itu?” tanya saya.

“Garam Himalaya!” jawab A semangat.

“Ana tahu dari mana?”

“Ituu yang dulu pernah dikasih ke kitaa dari Enin apa Omama ya?”

“Ooh, Ana ingat😲”

Saya kaget mengetahui A bisa mengasosiasikan Panggung Himalaya dan garam Himalaya sebagai sebuah benda yang berasal dari tempat dengan nama yang sama.

Kami ngobrol tentang asal muasal garam. Lebih jauh,  kami juga membicarakan proses pembuatan garam secara traditional oleh para petani garam serta bedanya dengan garam di pabrik.

Lalu kami ngobrol tentang pemisahan larutan garam lewat percobaan sederhana yang masih dalam tahapan obrolan. Namun belum sempat dipraktikkan. A tanya, “Uap airnya bisa ditampung padahal loh, dari air dan garam yang dipanaskan itu.” Waa, kami orat-oret di buku catatan sambil ngobrol ide A itu dan kaitannya dengan proses penyulingan air garam menjadi air tawar.” Proses lebih kompleks.

Eureka!

Asosiasi Pengetahuan

Dari buku anak-anak sederhana, kami telah memanjat. Naik-naik ke puncak Gunung Himalaya. Bicara arti kata pegunungan dan gunung.

Lalu asosiasi pengetahuannya berkembang menyusuri dari pegunungan dan mendapati garam himalaya yang pernah menjadi pengetahuan sebelumnya telah berkembang.

Setelahnya kami ngobrol sampai tengah malam.

Seperti hobi ngobrol kami yang berangsur menjadi sebuah kengalor-ngidulan. Termasuk ke pertanyaan pop up A tentang ide dasar. Karenanya, dimungkinkan ide dasar berbeda-beda antarsatu orang dengan orang lain berbasis latar belakang kehidupan keluarganya dahulu.

“Kenapa Abah suka dikit-dikit ngomong awas ini, awas itu, hati-hati ini itu, jangan ini, jangan itu sih, Ma?”

Kami mengupas obrolan ini dengan mengupayakan angle yang berbeda.

Kasus-1

Kami ngobrol tentang bagaimana Abah dan adik-adiknya dibesarkan pada zaman DI/TII. Maka rumah lepas magrib sudah dikunci, palang diturunkan, diam di rumah saja.

Kasus-2

Saya berbagi tentang saya kecil yang dulu picky eater, gak suka makan sayur. Sayur = huek🤢

Sementara si Papa adalah anak dengan kategori obesitas dikarenakan terpapar junk food ayam goreng dari kedai terdekat rumah masa kecilnya.

Saat menikah usia senja, kami sadar harus sehat benar. Pola hidup rasanya yang perlu banyak kami perbaiki. Sedikit-sedikit. Cerita lebih lengkapnya kami buatkan sebuah episode podcast di sini.

Kasus-3

Ada orang yang tidak suka olahraga, tadinya. Jadi gemar karena badannya enak. Pertama perlu diajakin sama anggota keluarga yang lain atau teman-teman. Selebihnya, ia bisa jalan sendiri. Ada atau pun gak ada teman.

“Oh kayak Omama gitu ya yang suka jalan dan berenang meskipun gak ada kita?”

“💯”

“Jadi, gimana dong, berubah itu bisa atau enggak?” saya memastikan kepada A.

“Bisaaa, kalau kita mauuu!” jawabnya tegas.

“Betul banget.” Sebuah validasi.

“Kaya Ana nih tadinya gak suka disuruh-suruh mandi. Terus sekarang mandi sendiri, kalau udah panas. Karena kalau mandi, jadi gak gerah.” Sebuah pengakuan A. Uhuy!

Kami ngekek berdua tengah malam denger refleksi lanjut dari A 🤣🤣🤣

“Ma, nanti mau tidur kita cerita-cerita lagi ya sampai ketiduran.”

“Okay.”

Garam dan Cerita-Cerita di Antaranya

Malam itu, cerita gunung, cerita garam dan cerita Himalaya dan segala di antaranya, telah membuat kami bertumbuh. Menaiki gunung-gunung pengetahuan, rasa, kisah, dan pengalaman baru dalam berdiskusi. Seperti juga garam, meskipun bukan selalu dari Himalaya, bisa melengkapi rasa sayur dan setiap masakan yang membuat sebuah hidangan menjadi lebih kaya.

Buku selalu begitu. Bagaikan garam dalam kehidupan kami. Selalu ada lapisan baru dalam membaca. Bahkan pada deretan aksara yang sama yang memungkinkan dimaknai dan dijalani dengan cara yang berbeda. Narasi yang terus memperkaya khazanah.

Begitulah mendaki gunung, katanya, saya juga belum benar-benar pernah mendaki gunung. Katanya, lagi, saat tiba di puncak, banyak hal yang bisa dirasakan, disyukuri untuk memandang hidup dengan cara yang benar-benar berbeda dari sebelum pendakian. Katanya lagi, bukan hanya hasil akhirnya saja berupa pemandangan tak ternilai yang terus dicari, untuk diulangi. Tetapi juga perjalanannya, proses panjangnya. Sama seperti keindahan sebuah pencarian. Google memang seru. Tetapi Google juga sekaligus gak seru membuat kita tahu-tahu sampai di puncak gunung dan rasa dan arti yang berbeda karena naik helikopter dibandingkan bersusah payah mendaki.


Leave a comment