Jalan Panjang Mengikuti Metamorfosis


Bertelur

Saya tidak pernah tahu dan juga tidak pernah menyadari telur kupu-kupu. Bahkan menyadari bahwa kupu-kupu bertelur, awalnya, sebagai bagian dari metamorfosis yang dialami makhluk indah ini.

Sampai suatu ketika, mulut kecil A balita bertanya, โ€œKupu-kupu itu rumahnya di mana?โ€ belum selesai satu pertanyaan direnungkan, sudah datang lagi, โ€œkupu-kupu itu tidur atau enggak?โ€ Haiyaah. Ini seperti pop-up quiz buat kami, mama papanya.

Dalam perjalanan berkebun yang bisa dibilang cukup santai. Maksudnya, tidak ngoyo banget harus nyangkul dan aduk kompos setiap hari. Rasanya, Fukuoka Method dengan do-nothing farming, ini yang cocok dengan perilaku berkebun kami yang tidak memberlakukan tanah tempat kami berhidup sebagai sebuah hal yang dituntut untuk maksimal menghasilkan bahan pangan. Sama sekali tidak.

Dari kebun, kami jadi belajar ada titik-titik kecil dan besar yang merupakan telur hewan-hewan kecil. Kadang ada yang bentuknya seperti ludahan, kadang butiran sebesar biji markisa. Sedikit yang kami tahu, itulah awal mula kupu-kupu betina dan jantan menitipkan generasi berikutnya pada kumpulan daun, pojok rerumputan hijau dan tempat-tempat aman lainnya. Setelahnya mereka meredup, hilang ditelan proses dekomposisi. Dalam siklus hidup yang tidak terlalu panjang.

Untuk kami dan untuk dirinya sendiri, A adalah telur. Saat ia lahir ke dunia, ia mengintip sedikit di balik cangkangnya. Lalu pelan-pelan keluar setelah menyemili cangkangnya, untuk mencari sumber pangan baru, juga petualangan baru.

Ulat

Suatu pagi, di cabang-cabang pohon alpukat yang menyembul dari jendela yang kami buka setiap harinya, muncul sebuah hewan yang berjalan ginak-ginuk. Tubuh gendut gemasnya telah mempesona mata kecil A untuk mengenalnya lebih jauh.

Ubi adalah nama ulat pertama yang A putuskan untuk rawat. Ia menyanggupi mau merawatnya dan melakukan proses observasinya. Tangan kecil A tak ragu untuk mengelus punggung hijaunya. Matanya tak lepas mengamati kaki-kaki kecil Ubi melintas melalui wadah yang disiapkan A untuk kawan kecilnya.

Setiap hari, A berkomitmen untuk mengganti daun-daun di dalam tempat pengamatannya agar Ubi merasa nyaman. Bahagia benar, saat menyaksikan daun yang tadinya utuh kemudian berubah menjadi bolong-bolong dan kering di hari-hari sesudahnya.

Beberapa Ubi berlalu. Pengamatan pertama bisa dibilang punya kesan di dalam benak A. Karena ia bisa melihat Ubi membentuk serat dan getah-getah lengket yang akhirnya menjadi tempatnya untuk memasuki fase berikutnya, mengepompong. Beberapa Ubi berhasil, beberapa Ubi lain failed. Entah karena dimakan tikus, kucing, ย atau predator lainnya saat A lupa memasukkan kawannya itu ke dalam rumah pada malam hari, atau Ubi hanya pergi kelayapan dan tak ditemukan lagi.

Juga ada kisah Uba, kawanan Ubi, yang kami sempat mengucapkan selamat tinggal dan terbang tinggi saat ia telah menyempurnakan proses metamorfosisnya.

Untuk A, bahkan kami, perjalanan panjang mereka seperti sebuah anugrah.

Pertemanan, bagi A, menghadirkan pengalaman yang berbeda. Bahwa kita semua hidup berdampingan dengan nilai yang berbeda-beda. Salah satu yang A paham dari fase ulat, ada di antara teman-temannya yang tidak tahu perbedaan antara ulat dan cacing. Anak-anak ini perlu mengumpulkan keberanian lebih untuk menyentuh hewan yang A sodorkan kepada mereka, saat A menawarkan apakah mereka mau memegangnya. Beberapa ragu, beberapa lagi seperti ingin-ingin tetapi tak ingin. Antara jijik, geli dan takut. Utamanya, takut digigit.

Dari pengamatan kami, selain ulat bulu, hanya ulat pohon jeruk yang punya reaksi cukup keras saat mereka kaget. Ulat jeruk mengeluarkan sungut berwarna oranye saat disentuh sebagai reaksi pertahanan dirinya. Sementara ulat pohon alpukat, pohon bintaro dan pohon sirsak tidak menunjukkan reaksi kaget saat disentuh oleh tangan manusia.

Dalam tumbuh kembang A, ekslorasinya di dalam rumah, berusaha tidak kami batasi. Rumah telah dibuka seluas mungkin untuk jadi tempat bermain yang memuaskan untuk A uget-uget ke sana kemari. Saklar, kompor, wastafel dan tempat-tempat yang tinggi kami upayakan bisa dipijak A. Dengan alat bantuk kursi, dingklik, step tools dan infrastruktur sederhana lain yang kami siapkan sedapat mungkin. Sehingga rumah menjadi tempat yang nyaman untuk hidup kami bertiga, dua manusia dewasa dan satu manusia kecil.

Di fase ulat A, kalau air, dinding, cat acrylic dan sumber daya lain yang tadinya kami pikir hanya berupa pemborosan semata saat A butuh eksplorasi, kami coba ubah. Pergantian mindset ini tidak mudah. Ada diskusi panjang di rumah tentang hal-hal yang harusnya penting untuk kami. Misalnya, kami memilih rumah dengan dinding yang bersih, putih, mulus atau sebuah pengalaman membahagiakan dengan mengecat dinding rumah bersama, bertiga? Kali yang lain, saat A bermain air di kamar mandi tak henti-hentinya berjibaku dengan kesibukan dari mulai menyikat kamar mandi sampai percobaan mencampur sabun, sampo dan menuang-nuang air dari satu wadah ke wadah yang lain. Kami berdebat haruskah pemborosan ini kami hentikan?

Karena hasil yang terlihat, selalu tidak pernah instan. Beberapa kejadian setelahnya, A dapat dengan mulus menuang air, eco-enzyme, sabun lerak dari panci, wadah proses, gelas ke botol dan sebaliknya, bahkan dengan logika corong dan saringan sebagai tools yang dibutuhkannya.

Setiap beberapa waktu, kami melakukan sortir ulang karya, sehingga perkembangan garis dan gambar A bisa disaksikannya sendiri. Seperti baru-baru ini, โ€œIni kok gambar Ana dulu kayak begini? Ana gambar apa ini?โ€ Kami dengan senang hati menceritakan karyanya dahulu kala, memanggil memorinya tentang cara berpikirnya dan proses kreatifnya yang sudah jauuuuh berkembang.

Kepompong

Pertama kali melihat kepompong, dengan noraknya, tentu saja saat saya sudah menjadi ibu-ibu. Sekampung dipanggil. Ya gak beneran sekampung sih, hanya dua orang lain yang saya tahu benar akan sama tertariknya dengan saya. A dan si Papa.

Observasi kepompong dengan semangat kami lakukan. Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali, dengan hasil yang berbeda. Kadang sampai ke fase kupu-kupu, kadang juga tidak.

Pandemi telah berbuat banyak dalam hidup kami. Termasuk menjadikan kami sekeluarga punya saat merenung yang cukup panjang. Untuk para introvert seperti kami, sesungguhnya ini merupakan blessings in disguise. Aman dan nyaman pada cangkang, melakukan kegiatan minimal. Sampai kami pada sebuah titik, harus keluar untuk mencari makan. Dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti sebenarnya. Berkegiatan dan memaparkan diri dan keluarga kami pada beragam pengalaman. Melongokkan kepala kami keluar.

Seperti kura-kura yang baru saja menyembulkan kepalanya keluar tempurung, A mulai punya ketertarikan lain. Di luar rumah. Bukan yang dulunya hanya perkara tempat, selama perginya bersama mama papa. Fase kepompong telah selesai.

Kupu-kupu

Kebutuhan berikutnya dari anak balita yang beranjak besar adalah kebutuhan akan teman. Karena kebutuhan main satu individu dan indvidu lain berbeda, tentu saja semuanya perlu dieksplorasi. Ada individu yang cukup puas dengan pertemanan dalam lingkar kecil, 1-2 teman saja dengan intensitas tinggi. Tetapi ada pula anak-anak yang butuh main setiap waktu dan dan setiap saat, dengan berbagai ketertarikan yang berbeda antarsatu kelompok dengan kelompok bermain lainnya.

Pada suatu jalan kaki, kebiasaan baik yang berusaha kami bangun bersama setidaknya seminggu sekali, A menemukan kupu-kupu yang hampir mati di tengah jalan. Ia punya ide untuk membawanya pulang. Merawatnya sampai saat ajalnya datang menjemput. Kik namanya. Kik akhirnya mati, tak lama, dan dikuburkan A di kebun.

Penerusnya, Kuk, kupu-kupu lain, ditemukan A di jalan saat hendak pergi berkegiatan di sebuah studio teater anak. Tak disangka, Kuk ternyata menjelma menjadi jembatan pertemanan A dengan anak-anak lain. Membantunya mencairkan suasana. Karena A tipe anak yang butuh waktu agak lama untuk jadi ‘panas’.

Berkat Kuk, A bisa lebih santai membawa dirinya saat teman-teman baru mengajak berinteraksi berdasarkan keingintahuan mereka tentang Kuk. A dengan senang hati dan santai menceritakan, meskipun perlahan. Suara dan pace. Ia juga menjadi perantara untuk teman-teman kecilnya berinteraksi dengan Kuk. Sekaligus memperlihatkan pada mereka, bahwa Kuk baik, juga tidak mengigit.

Saya terharu bagaimana dari kupu-kupu, A bisa berkembang skill interaksinya. Dengan lisan, tulisan, aksi, gambar, bahkan memutuskan menerima video call dari teman kecilnya untuk ghibah tentang kupu-kupu. Hihi.

Ahhh, perut saya rasanya dipenuhi dengan kupu-kupu, iya ini terjemahan langsung dari I have butterflies in my stomach. Bukan dalam arti deg-degan seperti mau manggung ya. Tetapi penuh makhluk kecil terbang yang memenuhi sukma saya. Membangunkan saya, bahwa ini adalah jalan panjang mengikuti satu siklus metamorfosis. Bukan hanya dari keluarga kupu-kupu. Tetapi juga keluarga kami.


One response to “Jalan Panjang Mengikuti Metamorfosis”

  1. […] Seperti para pendahulunya, Lalu Kluk ditemukan A di antara daun kering. Sudah berusaha keras terbang ke sana kemari. Tetapi jatuh lagi. A segera tahu apa yang harus dilakukannya. Ia pergi ke dapur mencari wadah. Hihi iya, yang diambilnya adalah wadah makanan, sisa kemasan margarin. Wadah berupa kotak kuning yang tutupnya telah tanggal itu diberikan A alas yang merupakan kain potongan dari bedongnya saat bayi dulu. Sekarang sudah menjadi lap, bisa dibilang tisu yang kami cuci-kering-pakai berulang kali. […]

    Like

Leave a comment