Gara-Gara Princess: Sebuah Jendela Belajar


Saya memang gak hobi sama cerita putri-putrian. Banyak yang setelah saya baca dan bacakan ulang ke A, yang sekarang 6 tahun, rasanya menentang hati nurani. Ngapain coba ujug-ujug harus ikut-ikutan tren punya baju bagus biar bisa pergi ke istana dan ketemu pangeran? Belum lagi tentang pernikahan yang harus lewat pesta dansa, sayembara dan hal yang gak masuk dalam konteks yang kami berusaha bangun di dalam kepala A tentang rasa yang diperlukan untuk akhirnya memutuskan menuju jenjang pernikahan. Saya jadi ingat tulisan seorang teman, iya ibu-ibu semi feminis beranak satu anak perempuan juga, tentang cerita rakyat yang kental dibangun dengan teorema kutukan ibu-ibu, bisa dibaca di sini.

Ehem, dulu waktu A masih lebih kecil, kami lebih tepatnya saya akan menjadi badan sensor buku dan mainan yang masuk ke rumah kami. Bukan hanya dari kado kakek-nenek dan handai taulan untuk Aliyna, tetapi kadang juga hibah. Urunan yang pernah dipakai saudara-saudara sepupu yang kini sudah dewasa. Iya, kami sesantai itu menerima barang turunan. Selama masih bisa dipakai, kami terima dengan tangan terbuka. Perkara mainan ada yang hilang satu, dua biji itu sih wajar, Namanya juga dimainkan. Begitu juga buku, sobek satu atau dua halaman, keren. Artinya buku itu telah hidup di keluarga sebelumnya.

Namun, saat merubah sedikit saja mindset, bencana seperti gempa bumi dan gunung berapi, bisa saja dipandang dengan cara yang berbeda. Hanya sebuah fenomena alam. Seperti halnya juga dengan demam princess yang terjadi pada A setelah rasanya rumah kami cukup steril dari boneka-boneka tirus langsing keluaran dari Mattel itu juga buku-buku yang ceritanya tidak sejalan dengan nilai yang kami pegang.

Beberes di Toko Buku

Pergi ke toko buku dan lihat-lihat buku adalah hobi kami berdua. Baik waktu masih single maupun saat sudah menikah. Kalau khilaf adalah setidaknya yang kami bawa pulang satu buku per orang, apalagi kalau sudah ada faktor tambahan harus menunggu karena janjian dengan orang lain atau menghabiskan sekian banyak waktu di pusat perbelanjaan yang kami gak terlalu suka. Selain di sudut penuh buku itu (baca: toko buku) yang bisa kami habiskan sampai kaki rasanya kesemutan atau announcer sudah mengumumkan toko bukuny sudah mau tutup.

Saat A sudah hadir menambah keseruan hidup, kami jadi menjalankan hobi melihat-lihat buku di toko buku ini bertiga. Rasanya beda memegang buku secara fisik dan memborong buku dari dsikon online. Ada kerinduan menyentuh langsung, menghirup aroma kertas dan membaca blurb serta daftar isi.

Buat A, kegiatan itu tidak cukup. Harus dibacakan sampai tamat kalau perlu. Walhasil kami bisa betah melewati dua sampai tiga waktu shalat di area musala toko buku. Karena ia sebegitunya ingin tahu tentang buku-buku yang dipilihnya.

Ingatan saya membawa saya ke era yang lampau, saat saya dibawa ibu atau tante saya ke toko buku terbesar kala itu. Saya, adik-adik dan sepupu-sepupu akan berjongkok di sekitar rak buku yang berjejer. Sesuai dengan selera masing-masing. Untuk yang hobi baca komik akan duduk bersila di gang yang memuat komik. Untuk saya yang suka baca buku sastra akan kepusingan sendiri memilih karya siapa yang saya akan bawa pulang hari itu, karena sesuai jatah satu anak satu buku.

Kala itu, toko buku cukup tidak ramah pada anak-anak yang penasaran dengan isi buku. Semuanya dibuat bersegel, kalau pun ada yang ketahuan dibuka, siap-siap kena tegor Pak Satpam. Area untuk duduk dan berjongkok sengaja dibuat tidak nyaman dan berhimpitan dengan tempat hilir-mudik pengunjung lainnya. Sehingga untuk menamatkan atau paling tidak dapat cerita buku, harus kuat-kuat kaki dan kuat-kuat mental.

Sekarang, beda zaman, A punya privilese yang berbeda di toko buku. Ada buku-buku anak yang sengaja dibuka untuk contoh, ada pula buku yang boleh minta dibukakan oleh petugas saat buku contoh tidak ditemukan. Kami sebagai orangtua hanya butuh kaki yang kuat, kalau perlu berdiri dan tidak ada tempat duduk di sekitar rak buku. Juga mental yang kuat kalau ada petugas yang lewat dan senyum-seyum melihat kami sedang tekun membacakan buku sama anak kecil penasaran yang membuat kami gelosoran di lantai. Oh, sama ketahanan dengan mulut dan tenggorokan yang kering karena haus sudah membacakan sekian buku.

Dari sana, kami tahu benar buku-buku yang hanya A ingin baca sekali saja karena penasaran dengan yang ia benar-benar inginkan suatu hari saat kami punya budget untuk membelinya. Di antara cerita membaca cerita sekali saja itu, berjejerlah beragam kisah. Dari mulai yang lucu, ajaib, aneh, unik, gemes sampai yang princess. Iya bagian terakhir perlu di-highligt, karena dari sana cerita-cerita selanjutnya bermula.

Episode cerita putri dengan mahkota, ada raja, ratu dan pangeran. Meskipun kadang ceritanya gak selalu lengkap. Ada tambahan figuran nenek sihir jahat yang melakukan penculikan dan pengutukan, tetapi tiba-tiba nongkrong di bagian depan cerita, mengambil alih peran raja dan ratu dalam pengasuhan. Ada juga kisah single parent yang membesarkan putrinya di tengah kemahsyuran kerajaan. Atau cerita bukan princess-princessan tapi menggunakan atribut putri-putrian tetapi ada unsur jin baik hati, peri dan lain sebagainya pada kehidupan anak-anak rakyat biasa.

Gambar Nenek Sihir dalam Imajinasi A, si Penculik Rapunzel

Seperti dibilang di awal bagian ini, A telah menemukan kegiatan baru di toko buku. Bisa dibilang, bentuk kerelawanan yang ia temukan semenjak usia dini, menyusun ulang buku-buku di rak yang berantakan. Ini ditemukan A secara tidak sengaja waktu melewati area bazar yang acak-acakan. Buat mata kecilnya, hal ini oh sungguh polusi untuk matanya.

Bahkan saat belum bisa membaca, A sudah bisa menyusun kembali tumpukan buku mewarnai, melipat dan menggunting dan activity book lainnya yang menurutnya bisa dibuat lebih rapi. Ia akan mendayagunakan semua kemampuannya untuk menyusun ulang, mengenali bentuk yang serupa untuk disusun dalam satu tumpukan dengan tema yang sama. Tak jarang, kami berdua juga digeret dalam tim relawan toko buku itu.

Biasanya dalam 20 menit, satu area buku yang awut-awutan bisa kelar. A akan tampil dengan senyum kemenangan saat semuanya bisa kembali terlihat pada tempatnya. Tidak lama, akan datang ibu-ibu yang melihat-lihat dan mengembalikan tidak pada tempatnya. Ahahha biasanya aura judes saya berfungsi di sini! Bisa dengan menegur langsung, bisa juga dengan menunjukkan tempat yang seharusnya pada ibu-ibu yang seolah terburu-buru itu tapi menyempatkan mampir, namun tak sempat mengembalikan pada tumpukan yang benar.

Podcast yang Mengilhami

Kami memang memilih untuk tidak punya televisi di rumah. Hiburan kami terbesar adalah buku. Baik buku sendiri maupun buku pinjaman dari teman dan perpustakaan. Selain itu melalui multifungsi telepon genggam, kami mendengarkan podcast. Baik di rumah maupun di perjalanan.

Saya mendengarkan lagu-lagu dengan selera yang terjerembab masa lalu, kadang juga podcast untuk belajar sebuah hal yang ingin dipelajari berkaitan dengan parenting, sementara si Papa dan A beda lagi seleranya. Si Papa suka mendengarkan berbagai kuliah yang berkaitan dengan sains, sementara A suka mendengarkan dongeng anak. Utamanya yang berbahasa Indonesia, karena pernah A minta mendengarkan podcast dongeng berbahasa Inggris, menjadi kejar-kejaran dengan terjemahan dari kami.

Courtesy of Spotify

Waktu A lebih kecil, kami menghindari pemaparan bahasa asing berlebihan di awal waktu. Menurut kami, A sudah cukup dulu dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Arab dari doa-doa dan surat-surat pendek yang kami perkenalkan padanya. Bahasa inggris bisa menunggu, sampai pengertiannya akan bahasa Indonesia sebagai bentuk ekspresi matang benar.

Baru dua tahun yang lalu rasanya kami membuka cakrawala lagu-lagu berbahasa asing, Melayu, Inggris, Perancis, Arab, Spanyol untuk diperdengarkan bersama.

Spesifik untuk lagu-lagu berbahasa Inggris semakin intens diperdengarkan tahun yang lalu, lebih khusus lagi lagu-lagu soundtrack film Disney. Buat A, lagu dengan genre musikal terdengar istimewa di telinganya. Maka, lagu-lagu ini diputar berulang kali, on repeat, sampai kami rasanya mual karena bosan. A belum.

Berkostum Jin dan Dalia dari Film Aladdin

Dari mendengar, ia mulai bersenandung ala kadarnya. Sesuka hatinya. Sesuai dengan kata dan frase yang ia tangkap lewat pendengarannya. Banyak kata-kata baru yang membuat tersenyum. Tetapi kami membiarkan, tak mengusik kesenangannya. Sampai suatu saat ia bertanya apa sebenarnya kata-kata dalam lirik lagu yang sedang digandrunginya.

Dari Pertunjukan ke Pertunjukan

Dari ketertarikan lirik lagu, kami duduk bersama. Membuka kolom lirik pada spotify. Saya membacakan satu per satu kata, pelan-pelan. Kadang kami juga berdiskusi arti kata, tidak semua. Lalu, saya si Anak Tuna Nada belajar menyanyi. Demi apa? Demi mengajarkan anak gadis menyanyi. Pada nada yang membuat saya merasa nyaman bahkan pada nada yang di luar kemampuan saya.

Setelah kata, kalimat, dan nada, kami juga bicara konteks. Mengapa lirik itu dibuat seperti yang kami nyanyikan.

Kalau sedang senggang, kami menonton film yang dimaksud. Kami membahas seni peran, penokohan, alur, setting dan banyak hal lain dalam sebuah tayangan.

Ada saat-saat A tidak terima, mengapa seorang tokoh bisa begitu jahat. Ada juga momen-momen kesal dengan peran antagonis. Termasuk saat harus menggeret tangan kami ke mana-mana karena masih terbayang adegan menakutkan. Termasuk, luncuran pertanyaan berulang tak henti saat jawaban yang diberikan belum memuaskan.

Kami pergi bertualang dari satu istana ke istana lain. Dari istana tempat Beast tinggal, istana Sultan ayahanda Putri Jasmin, sampai Istana tempat Rapunzel diculik semasa kecil, meninggalkan Raja dan Ratu dalam duka berkepanjangan selama belasan tahun.

Kalau hanya menyetel lagu Disney sambil meminta setiap orang yang berbicara mengganggu konsentrasinya mendengar lagu buyar, itu sudah biasa. Apa lagi bergerak ke sana kemari tak tentu arah dalam artian menari di dalam rumah di tengah segala keriuhan prakarya yang belum selesai, itu juga sering!

Guntingan Beauty and the Beast yang ditemukan A dari Bundel Majalah Bobo

Selesai menonton, mengkonsumsi sebuah karya, kami membiasakan A untuk juga bisa berproduksi. Setidaknya ia bisa menarasikan ulang cerita yang baru saja disaksikan. Sesederhana dalam obrolan tentang bagian mana yang paling ia suka, tokoh mana yang jadi favoritnya, juga bagian yang paling ia tidak suka.

Setelah obrolan ini menjadi sebuah hal yang lumrah dilakukan setelah menonton film, anak tangganya kami coba naikkan sedikit demi sedikit. Idenya bisa datang dari A, bisa juga dari saran kami yang diterima A. Pernah ia mengusulkan untuk membuat wayang atau replika topeng dari sebuah tayangan. Pernah juga ia membuat sketsa yang digambarkan di dalam buku, juga dalam bentuk lukisan digital. Di lain waktu, ia lebih nyaman menggunakan aplikasi Canva untuk membuat sebuah alur presentasi cerita. Atau membuat sebuah tarian yang terilhami dari cerita. Intinya bebas kemanapun imajinasi dan kreatifitas membawanya pergi. Bukan hanya mengendap dan berlalu.

Ada proyek yang bisa selesai sesuai cita-cita luhur, tak sedikit juga proyek yang mangkrak. Tentu, dalam usianyaA masih butuh pendampingan. Belum bisa jalan apalagi dilepaskan sendiri. Butuh waktu dan ketahanan yang perlu terus dinaikkan sedikit demi sedikit.

Inspirasi bisa datang dari mana pun juga. Kadang kami pikir, kegemarannya akan musikal datang dari beberapa pertunjukkan tari dan drama musikal yang sempat kami datangi di gedung pertunjukan. Ada yang gratis, bayar minimalis, ada juga yang A dapat rizki ditraktir neneknya. Atau bisa juga dari di dalam perut dulu, waktu saya dan si Papa bela-belain malem-malem hujan-hujan ke Gedung Kesenian Jakarta untuk nonton Jakarta Dance Meet Up. Well, semuanya misteri!

Hari Besar!

Penyerahan Kado Rapunzel

Beberapa hari yang lalu adalah hari besar. Hari ulang tahun Rapunzel! Iya, kalau habis baca buku, biasanya orangtua dan anak punya momen bookish play, ini movish play, role play berbasis film yang baru saja kami tonton: Tangled.

Setelah khatam dengan lagu soundtracknya, menyiapkan kostum untuk perayaan ulangtahun Rapunzel dan menyiapkan kado berupa prakarya yang kami bertiga siapkan di rumah, A mengumumkan bahwa kami bertiga diundang Raja dan Ratu ke istana untuk merayakan ulang tahun Rapunzel ke-18!

Saya penasaran, kenapa 18? Lalu A menjelaskan pada saya dalam film, Rapunzel menceritakan bahwa selama 17 tahun ia sudah hidup di menara tempat nenek sihir yang menculiknya. A kemudian menarik kesimpulan bahwa ulang tahun Rapunzel yang sekarang, tahun ini ya  berarti yang ke-18. Dooh, saya berasa luput detail itu dari cerita.

Kami harus mengantri sebelum bisa memberikan kado ke Rapunzel. Sebelumnya kami harus nyanyi soundtrack-nya dulu, bertiga, tanpa iringan musik. Untung udah hafal dari beberapa hari sebelumnya. Jadi sudah di luar kepala deh.

Bungkus kado yang isinya: sisir ungu berhias pita, kotak tempat tidur untuk Pascal (bunglon sahabat Rapunzel), jepit rambut, mainan-mainan; dibungkus rapi oleh A setelah sehari sebelumnya kertas kadonya juga ia lukis sendiri.

Rapunzel Girang Terima Kado

Jadilah hari itu kami pesta, numpang makan di istana denga kostum khusus hari ulang tahun. Semua gara-gara geng Princess yang sudah gak terlalu saya lihat sebelah mata lagi. Ahahaha.


2 responses to “Gara-Gara Princess: Sebuah Jendela Belajar”

Leave a comment